Posted in cerpen, Fiction Imaginary

Friendship will Survive Us

hai readers, I’m come back again with a new story, hehehe….

Hope you enjoy it. ^_^

.

.

.

STORY BEGIN…

Deru mesin memekakkan telinga, kendaraan roda empat dan roda dua hilir mudik melintas di depan seorang gadis yang tengah dilanda bosan yang amat sangat. sesekali alis matanya bertaut melihat perangai aneh orang-orang yang lewat di depannya. Matanya meneliti dengan seksama setiap orang yang lewat di depannya atau kendaraan yang melambat di hadapannya, berharap orang yang ditunggunya itu akan datang dan membawa pergi dari tempat yang ramai dan sangat berisik ini.

Perhatian gadis itu teralih setelah melihat sekelompok orang merapat mengelilingi sesuatu, tak jauh dari tempatnya duduk saat ini. Gadis itupun menghampiri kerumunan dan sedikit berjinjit, penasaran dengan apa yang terjadi dan kaget saat melihat 2 pemuda dan seorang gadis sedang perang mulut di depan sebuah minimarket. Gadis yang tadinya penasaran dengan kerumunan itu akhirnya menjauh dari kerumunan setelah melihat 3 orang yang sangat dikenalnya itu adu mulut di tengah keramaian. ‘Sebaiknya aku pergi dari sini sebelum mereka melihatku. Malu banget kalo sampai mereka manggil gue di keramaian ini, norak banget. Mumpung mereka tidak melihatku.’ Gumamnya sambil beringsut perlahan menjauhi 3 teman sebayanya itu.

“Viona, akhirnya kami menemukanmu, maaf kami terlambat.” ujar salah seorang pemuda berwajah Melayu yang menjadi biang keributan itu setelah melihat gadis yang mundur perlahan itu membuat banyak pasang mata mengarah padanya.

“Apa kau mengenal mereka semua?” Tanya seorang bapak yang berdiri di samping gadis yang disapa Viona itu.

“A…aku tidak mengenal mereka semua. Mereka pasti salah orang.” Jawab gadis itu gelagapan.

“Kau viona kan?” Tanya pemuda itu bingung.

“Ha…ha, kau pasti salah orang. Aku bukan viona.” Sangkal gadis itu sambil melangkah mundur menjauhi pemuda itu.

“Kau mau kemana?” Gadis yang tadi ikut perang mulut dengan 2 pemuda itu memegang tangan viona dan menariknya ke tempat 2 pemuda itu berdiri. “Kami sudah capek berkeliling mencarimu kemana-mana.” Sambungnya sambil berkacak pinggang.

“Sebaiknya kau bawa mereka menjauh dari sini, dasar biang rusuh.” Ujar seorang pria 50-an dengan raut kesal.

“Kupikir ada masalah apa, ternyata hanya sekumpulan anak bau kencur yang kesasar, buang-buang waktu saja.” Ibu-ibu yang berdiri tepat di belakang viona itu mengomel dan berlalu meninggalkan viona dan 3 temannya yang menatap ibu itu bingung.

Kerumunan pun mulai berkurang dan viona segera menyeret 3 sahabatnya yang datang dari desa itu pulang ke rumah gadis itu tanpa menghiraukan pertanyaan dan omelan teman sekampungnya itu.

 

***   ***   ***

 

“Kenapa kalian semua berpenampilan seperti ini? Apa kalian semua sudah kehilangan selera fashion, huh??” Tanya viona heran melihat 3 sahabatnya itu mengenakan baju tahun 80-an itu.

“Memangnya kenapa? Bukannya disini lagi trend model pakaian tahun 80-an?” Tanya Fanny yang berdiri di samping viona sambil menyampirkan tangannya ke pundak gadis itu.

“Siapa bilang? Memang sih, sekarang lagi trend baju 80-an tapi gak jadul banget kayak gini, harus di mix and match donk!!”

Bahasa lo selangit, lo sendiri kenapa pakai baju kayak gini??” tanya Abdul sambil menarik sedikit lengan baju viona. “ini model 80-an juga kan?”

“Memang. Tapi harus dipadankan biar gak terkesan jadul.”

“Sok tau lo!!” sanggal Ben sambil menatap viona sinis.

“Wah, lo ngeremehin gue nih. Dasar lo.” Ujar viona sewot dan memukul kepala Ben pelan. “entar deh gue tunjukin gimana trend fashion disini.” Sambungnya bangga. “o ya, ngomong-ngomong kalian ngapain datang mendadak kemari??”

“Kami mo sekolah disini. Sekolah kami yang lama digusur, katanya mo dibangun pabrik disana. Jadinya kami pindah kemari.” Terang Abdul.

“Kenapa harus disini? Tempat lain kan banyak??”

“Karena orangtuamu yang mengajak kami semua pindah kemari, tak lama setelah sekolah kami diruntuhkan sebulan lalu.” ucap fanny riang.

“Benarkah??” tanya viona tidak percaya. “lalu kalian semua tinggal dimana??”

“Disini, hehehe…” ujar 3 remaja itu serentak.

“Kalian jangan bercanda. Kalau Fanny tinggal disini sih, itu wajar. Tapi kalian berdua?” Tanya viona sambil menatap 2 pemuda itu tajam.

“Kami akan tinggal disini juga. Ibu dan ayahmu menyuruh kami untuk tinggal di rumah ini, beliau pun sudah meyediakan kamar untuk kami. Ibumu bilang kalau kamar kami di bawah dan kamar para gadis diatas.” terang abdul.

‘Masalah nih, kayaknya gue harus bersabar lebih lama nih buat dapat uang saku lagi.’ Gumam viona sambil menatap nanar ketiga sohibnya dari kecil itu.

 

***   ***   ***

 

Dua gadis cantik dan dua pemuda tampan berjalan dengan santai menuju ke sekolah mereka. Empat remaja itu mengenakan kacamata hitam yang membuat mereka menkadi pusat perhatian para siswa yang ada di sekitar mereka.

Namun…

 

BRUJUK!!

pemuda tampan yang berjalan paling depan itu jatuh karena menginjak kantong kresek yang tercecer di lantai yang agak becek karena air hujan yang sedikit menggenang dibawahnya. Tiga orang yang ada di belakangnya pun kaget dan segera membantunya berdiri. Para siswa yang tadinya kagum melihat mereka itupun tertawa keras membuat 4 remaja itu segera kabur menyelamatkan diri sebelum para siswa itu mengenali mereka.

 

“Dasar bodoh, kenapa kau bisa jatuh disana sih?? Untung kita belum melepas kacamata ini, kalau tidak pasti bakal malu banget!!” Ujar Viona sambil menatap Abdul yang meringis pelan sambil memegangi lututnya yang sedikit membiru karena membentur lantai saat jatuh tadi.

“Kenapa kau jadi marah padaku?? Aku juga tidak tau kenapa kantong kresek itu ada disana, kalau aku tau pasti tidak akan kuinjak.” Ujar Abdul membela diri.

“Seharusnya kau tidak memberikan kacamata hitam itu padanya, jadi dia tidak jatuh seperti tadi.” Ujar Fanny sambil mengompres memar di lutut Abdul.

“kalau seperti ini terus, sebaiknya kau tidak usah dekat-dekat denganku, aku tidak mau kau berbuat ulah lagi seperti tadi. Kalau saja kau tidak memaksa  tuk memakai kacamata ini, kau tidak akan buat malu seperti tadi.” Titah Viona ketus dan melempar kacamata hitamnya sembarangan.

“Kau malu berteman dengan anak kampung seperti kami?” Abdul menatap Viona kesal.

“bukan itu maksudku. Aku hanya…”

“…Kau tidak usah banyak alasan. Aku sudah tau apa yang ada di pikiranmu itu.” Fanny yang tadinya duduk di sebelah Abdul itu berdiri dan menatap Viona berang. “Lebih baik kau sekarang pergi dari dari sini dan bergabung dengan genk gaulmu itu.” lanjutnya ketus dan menyeret 2 pemuda itu menjauh dari Viona.

“Hhhhh… salah paham lagi nih. Dasar bodoh, sensitive banget jadi orang, dasar payah.” Umpat Viona.

“Ternyata mereka temanmu toh. Gembel itu memang berteman dengan gembel, hahaha.” Cristie bersama 3 gadis jejongosnya masuk ke kelas. Cristie menabrak Viona dari belakang dan berdiri tepat di depan gadis itu.

“Lalu kenapa? Masalah untukmu, huh?” Tanya Viona sinis dan menguak 4 gadis yang berdiri mengelilinginya itu.

“Aku belum selesai, dasar kau tidak tau malu, apa kau tidak tau siapa aku??.” Cristie menarik kerah seragam Viona. “Makin lama kau makin melunjak ya!!” Cristie lalu mendorong Viona ke belakang hingga jatuh terduduk.

“Terserah apa katamu saja. Aku tidak peduli.” Viona kembali berdiri dan merapikan seragamnya yang berantakan lalu keluar dari kelasnya.

“Kau akan menyesal karena mengacuhkanku seperti sekarang ini, kau ingat itu.” Teriak Cristie lantang. Viona pun berhenti sesaat dan tersenyum sinis sebelum melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

 

 

***   ***   ***

 

“Kalian mau kemana?” Suryani, Ibu Viona bingung melihat seorang gadis dan 2 pemuda berjalan perlahan keluar dari rumahnya sambil menenteng semua barang-barang mereka. “Jangan bilang kalian mau keluar dari sini?” Tanya Suryani dengan nada ketus.

3 remaja itu terdiam dan mengangguk pelan lalu menunduk. “Maaf bu, kami merepotkan Ibu.” Ujar Fanny pelan.

Suryani segera memanggil pembantu rumahnya dan menyuruhnya menaruh kembali semua tas itu ke kamar mereka masing-masing tanpa menghiraukan tatapan bingung si empunya. Suryani pun memanggil Viona yang sedang asyik menonton drama yang ditayangkan di TV dan menyuruhnya berkumpul dengan 3 sahabatnya itu di ruang tengah. Tak lama kemudian beberapa orang pembantu di rumah itu membawa peralatan bersih-bersih dan menaruhnya di depan 4 anak muda itu.

“Sekarang kalian semua pergi ke gudang belakang dan bersihkan.” Titah suryani tegas.

“Bibi kan ada Ma, lagipula kenapa harus sekarang? Episode terakhir tuh Ma” Tanya Viona malas dan menunjuk TV di ruang keluarga.

“Mama tidak menerima alasan apapun, sekarang kalian segera pergi ke gudang itu dan cepat bersihkan sebelum hukuman kalian bertambah.”

“Tapi apa salahku? Kenapa aku harus melakukannya?” Tanya Viona ngotot.

“Kau jangan banyak membantah. Lagipula sepertinya kau yang punya andil besar dalam masalah ini sampai-sampai teman-temanmu berniat pergi dari rumah ini.” Ujar Suryani enteng. “Sekarang kalian semua kerjakan itu… dan ingat!! Gudang itu harus bersih sebelum Ayah kalian pulang sore nanti, atau hukuman kalian akan ditambah olehnya kalau beliau tau tingkah kalian yang kekanakan seperti ini.”

4 remaja itu akhirnya hanya mengangguk pasrah dan mengambil peralatan mereka masing-masing lalu membersihkan gudang itu dalam diam sampai Abdul memulai aksinya dengan mengayun-ayunkan kain pel ke kepala Ben hingga pemuda itu terpancing dan mengejarnya dengan sapu yang di sedang pegangnya. Fanny yang melihat 2 pemuda itu berkejaran pun tertawa dan akhirnya terpancing setelah Abdul dan Ben terus mengganggunya hingga bermain kejar-kejaran dengan 2 pemuda itu.

“Sebaiknya kalian bersihkan semua ini dengan cepat, aku tidak mau penderitaanku hari ini bertambah gara-gara kalian.” Ujar Viona dingin.

“KAU!!” Fanny segera menghampiri Viona dan mencengkeram lengan gadis itu hingga berbalik dan menghadap ke arahnya. “Memangnya gara-gara siapa kami jadi harus mengerjakan ini semua, huh?” Tanyanya geram.

“Kau jangan seenaknya menuduhku ya!” Viona menepis tangan Fanny dan menatapnya geram. “Kau sendiri yang yang buat ulah, tenteng-tenteng tas segala sampai kita semua dihukum di tempat ini.” Ujarnya emosi.

“KAU PIKIR KAMI MASIH MAU TINGGAL DI SINI SETELAH APA YANG KAU UCAPKAN TADI DI SEKOLAH, HUH?” Tanya Fanny dengan nada tinggi.

“Ternyata kau tidak berubah ya!! Masih saja berpikiran buruk tentangku.” Jawab Viona dengan tatapan kesalnya. “KAU PIKIR AKU SENANG DENGAN INI SEMUA, HUH?”

“Jadi memang benar kau tidak mau menerima kami di sini.” Ujar fanny sinis. “Akhirnya kau mengungkapkan apa isi hatimu itu. dasar kau, muka dua.”

“Terserah kau mau menilai ku seperti apa, aku tidak peduli.”  Ujarnya pelan.

Fanny yang emosi pun mendorong Viona hingga membuat gadis itu jatuh ke tumpukan kardus bekas di belakangnya. Beberapa ekor kecoa dan beberapa jenis serangga lain pun bermunculan dan berlarian menyelamatkan diri sementara Viona hanya terdiam dengan wajah yang pucat dan keringat dingin membasahi wajahnya saat melihat kecoa yang keluar dari kardus bekas, tepat di wajahnya.

Abdul pun segera menyingkirkan kardus yang menimpa Viona dan membantu gadis itu berdiri. “Kau tidak apa-apa?”

Viona pun berdiri sambil memegangi siku kanannya. “Sebaiknya kalian selesaikan ini semua daripada Ayah tau dan urusannya jadi makin runyam.” Titah Viona sinis lalu mengambil kembali peralatan bersih-bersihnya dan melanjutkan pekerjaanya tadi.

“Apa benar kau tidak apa-apa?” Tanya Abdul khawatir karena melihat Viona yang makin pucat dan gemetaran. ‘Apa dia masih phobia serangga?’ Tanyanya dalam hati.

“Aku… tidak apa-apa.” Jawab Viona dengan nafas memburu. “Sebaiknya kau cepat selesaikan ini semua sebelum ayah pulang.” Sambungnya ketus. Abdul hanya merungut kesal dan kembali dengan pekerjaannya.

Ben, Abdul, Viona dan Fanny pun kembali larut dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada percakapan diantara mereka hingga gudang itu selesai dibersihkan dan mereka berempat pun kembali ke kamar masing-masing dengan langkah gontai.

 

***   ***   ***

 

“Viona mana?” Tanya Abdul yang melihat Fanny yang datang sendirian ke ruang makan.

“Viona ada di kamarnya.” Jawab Fanny ketus. “Aku sudah memanggilnya dari tadi, tapi dia tidak menjawab, entah apa yang dilakukannya.” Lanjutnya sambil menarik kursi makan di hadapan Abdul dan menyantap roti selai yang dihidangkan di hadapannya.

“Tumben Viona masih di kamarnya jam segini, biasanya dia kan paling duluan sarapan pagi.” Celetuk Abdul.

“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” Tanya Fanny risih karena Abdul dan Ben yang duduk di sampingnya menatapnya serius.

“Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini padanya, huh?” Tanya Ben sambil menatap fanny kesal.

“Maksudmu?”

“Akhir-akhir ini kalian berdua seperti orang yang tidak pernah mengenal satu sama lain.” Terang Ben. “Terlebih sejak kita berempat dihukum membersihkan gudang belakang seminggu yang lalu, padahal sebelumnya kalian berdua itu sangat dekat.”

“Lagipula aku sudah lelah mendengar ocehanmu yang selau menyalahkannya dan tidak saling menyapa satu sama lain.” Timpal Abdul. “Sebaiknya kalian berdua berdamai dan saling memaafkan satu sama lain.”

“Rasanya aku tidak pernah berbuat salah padanya.” Fanny tiba-tiba berdiri dari duduknya hingga kursi di belakangnya jatuh kebelakang. “Dia saja yang tidak pernah mau mendengarkan orang lain seolah dia itu selalu benar.”

“Bukannya terbalik?” tanya Abdul sinis.

“Kenapa kau selalu membelanya? Apa kau lupa kalau dia itu selalu saja membentakmu dan tidak pernah mau menerima apapun yang kau berikan padanya?”

“HENTIKAN!!!” Ben yang sedari tadi diam akhirnya emosi. “Kenapa kalian berdua yang bertengkar seperti ini? Kau juga Fanny, apa susahnya minta maaf padanya dan berbaikan seperti dulu, huh?”

“Berhenti membelaku!” Viona turun perlahan dengan berpegangan erat ke handle  tangga. “Semua yang dikatakannya memang benar kan?” Lanjutnya datar dan duduk di kursi sebelah Abdul tanpa menghiraukan Fanny yang mantapnya kesal. ‘Lagipula gara-gara siapa aku harus berurusan dengan serangga menyebalkan itu minggu lalu, dasar payah.’ Umpatnya dalam hati.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Abdul panic saat melihat Viona yang pucat dan berkeringat.

“Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu repot-repot mengurusiku.” Viona dengan tenang menyantap roti selainya dengan tenang seolah tidak ada kejadian apapun.

“Kau!!” Fanny yang berdiri tepat di hadapannya itu berkacak pinggang dan mmbentaknya. “Sebaiknya kau mempercepat acara sarapanmu itu atau kita semua akan terlambat sampai di sekolah.”

“Duluan saja kalau begitu, toh seminggu ini kalian semua tidak pernah pergi atau pulang sekolah bersamaku. Aku ini kan hanya gadis lelet dan pemalas.” Ujarnya enteng dan meletakkan roti yang baru segigit itu ke piringnya kembali.

“Kau ini memang tidak tau terima kasih. Sudah untung hari ini kami masih menunggumu, tapi kau malah berkata seperti itu.” Fanny pun pergi dengan kesal dan uring-uringan sendiri.

“Kalian berdua juga duluan saja, aku belum selesai.” Ujar Viona pelan sambil menatap 2 pemuda yang menatapnya penuh arti. “Pergilah sebelum aku membentak kalian seperti biasanya dan kupastikan kalian telat sampai di sekolah karena ulahku.”

“Maksudmu?” tanya Abdul bingung karena biasanya gadis itu akan langsung pergi tanpa menghiraukan lawan bicaranya.

“Jangan banyak tanya. Sebaiknya kalian pergi sekarang, nanti aku menyusul.” Viona akhirnya membentak keduanya dan melayangkan tasnya hingga 2 pemuda itu segera beranjak menjauhi gadis itu.

Viona kembali menyuap roti itu ke mulutnya namun tiba-tiba dia merasakan mual dan sakit kepala, bahkan lebih parah daripada yang dirasakannya sejak tadi malam setelah memakan cookies bingkisan yang teronggok manis di meja belajarnya kemarin sore. Gadis itu segera berdiri hendak kembali ke kamarnya di lantai 2 namun tenaganya serasa lenyap dan hingga jatuh berguling di tangga dan akhirnya kepalanya membentur sebuah guci setinggi 1 meter tepat di samping tangga. Samar-samar dia melihat beberapa orang berlari ke arahnya sambil berteriak namun Viona tidak mampu mendengar apapun dan akhirnya menutup matanya pelan.

 

***   ***   ***

 

Seorang pemuda berwajah Melayu dengan kulit sawo matang berdiri di sebelah gadis yang tengah terbaring di banker RS dengan selang infuse di pergelangan tangannya dan beberapa bagian tubuhnya yang dibalut perban yang cukup tebal. Pemuda itu seketika gembira saat melihat gadis itu mulai menggerakkan jemarinya dan membuka matanya perlahan.

“Kau ini memang merepotkan.” Ujar pemuda itu dengan senyum terkembang di wajahnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

Gadis itupun mengerjapkan matanya beberapa kali dan tersenyum lemah saat melihat pemuda yang berdiri di sampingnya itu tersenyum ke arahnya. “Maaf merepotkanmu.” Ujarnya pelan dengan suara serak.

“Kali ini aku tidak memaafkanmu sebelum kau mau berjanji satu hal padaku.” Ujar pemuda tinggi dengan tubuh atletis itu sambil memasang wajah pura-pura marahnya.

“Ben, kau ini benar-benar keterlaluan.” Seorang pemuda berwajah indo Arab yang tadinya tertidur di sofa di sudut ruangan bangun dan menghampiri pemuda yang akrab disapa Ben itu dan menjitak kepalanya.

“Kau juga Abdul. Kenapa kau menjitak kepalaku? sakit ini.” Ujar Ben ke Abdul  sambil mengelus kepalanya pelan.

“Apa kau tidak melihat, Viona baru saja sadar dan kau sudah berkata seperti itu padanya.” Ujar Abdul sinis.

“Kau itu selau saja perhatian dan membelanya? Apa jangan-jangan kau…” kalimat Ben terputus karena Abdul segera membekap mulut pemuda itu lalu membawanya sedikit menjauh dari Viona dan melemparnya ke sofa.

Dua pemuda itu akhirnya saling berkejaran dan bercanda dengan gelak tawa mereka membuat gadis yang terbaring itu tersenyum geli. Gadis itupun mencoba bangun dari tempat tidurnya namun seketika seluruh badannya ngilu hingga akhirnya gadis itu urung untuk bangun.

“Kau jangan memaksanakan diri dulu, kau itu belum boleh bergerak seenak jidatmu.” Ujar Ben sambil menahan tawa karena Abdul yang terus menggelitiknya di sofa RS di sudut ruangan.

“Lalu, apa aku harus tidur seharian di tempat ini? Begitu?” Tanya Viona ketus.

“Tanpa kau bilang pun, kau memang sudah tiduran di sana seharian kok.” Ujar Abdul enteng. “Bahkan lebih malah.”

“Maksudmu?”

“Kau itu terbaring di sana sejak 3 hari lalu. Kupikir tadinya kau tidak akan kembali ke dunia ini.” Ujar Abdul seenaknya.

“Dasar bodoh. Ucapanmu barusan bahkan lebih parah daripada ucapanku tadi.” Ucap Ben emosi dan menendang tulang kering Abdul hingga pemuda itu meringis dan segera memegangi kakinya yang malang.

“O ya, kenapa aku bisa terbaring di sini?”

“Sebelumnya aku ingin bertanya dulu, darimana kau dapat kue itu, huh?” tanya Abdul penuh selidik.

“Kue? Maksudmu?”

“Bingkisan cookies itu.” Jawab Abdul pendek lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Viona. “Darimana kau mendapatkannya, Miss Popeye?” Tanyanya pelan, tepat di telinga Viona membuat gadis itu bergidik.

“Darimana kau tau nama itu?”

“Apa kau lupa? Kau dulu pernah meminjamkan laptopmu saat ada tugas makalah biologi saat computer di kamarku hang karena dirasuki virus buatanmu yang sangat merepotkan itu. Apa kau lupa, huh?” Abdul kembali berdiri tegak dengan tangan disilangkan di dadanya.

Viona hanya cengengesan. “Waktu itu aku hanya uji coba dan ternyata berhasil, hehehe.” Ucapnya salah tingkah. “Lalu apa hubungannya?”

“Tidak ada, cuma mungkin kau akan lebih cepat mengaku kalau aku menyebutkan nama itu.” Ujar  Abdul yang kembali berdiri tegak di samping Viona.

“Makanya kalau menerima kado itu harus di bagi-bagi, jangan di habiskan sendiri saja.” Ujar Fanny yang baru saja masuk dengan membawa tentengan di tangan kanan dan kirinya.

“Untung saja aku tidak memberikannya pada kalian, jadi kalian tidak berakhir sepertiku sekarang ini.” Balas Viona membeli diri.

“Memangnya kau dapat kado itu darimana?” Tanya Abdul yang mendekat ke banker Viona.

“Aku melihat bungkusan kado di depan pintu masuk saat kalian semua pergi ke toko buku sore itu. Saat kulihat alamatnya, ternyata ditujukan padaku. Akupun membukanya dan melihat kue kemasan cookies yang tersusun rapi di dalamnya. Tadinya aku mau memakannya bersama kalian semua seelah kalian pulang dari toko buku, tapi kuurungkan karena kau uring-uringan seperti nenek peot saat pulang waktu itu karena kau tidak mendapatkan buku yang kau cari.”

“Beraninya kau menyebutku nenek peot, huh?” Sulut Fanny.

“Ya. Dan kalian berdua harus berterima kasih padanya, kalian tidak jadi celaka karena omelannya yang memekakkan telinga itu. hahaha.”

“Kenapa kami harus melakukannya?” Tanya Ben bingung. “Kau sendiri yang bodoh, mau-maunya menerima bingkisan yang tidak jelas asal-usulnya itu.”

“Maksudmu?”

“Kami sudah menyelidiki alamat pengirim bingkisan itu. Ternyata, alamat itu fiktif. Saat kami menyusurinya, kau tau tidak dimana tempat itu?” Abdul mendekatkan mulutnya ke telinga Viona. “Ternyata itu alamat sebuah pemakaman umum di kota sebelah.”

“Kau jangan  bercanda. Itu tidak lucu sama sekali.” Ucap Viona menutupi kekagetannya.

“Aku tidak pernah bercanda dengan hal seperti ini.” Jawab Abdul serius. “Apa kau punya musuh atau kau pernah menyakiti seseorang sebelum kami sampai di sini?”

“Rasanya tidak ada, soalnya aku tidak punya banyak teman di sini. Aku tidak terlalu tertarik untuk berteman semenjak pindah ke mari setahun lalu.”

“Makanya, jadi orang itu jangan terlalu cuek, kau bahkan tidak tau kalau ada orang yang ingin mencelakaimu.” Saran Fanny. “Lain kali kau jangan menyimpan semuanya sendiri, berbagilah dengan kami.”

“Ya, sebaiknya… Ah tidak, seharusnya kau membuang jauh-jauh sifat cuekmu itu.” Abdul menimpali dengan tampang sok berwibawanya.

“Kalau melihat tampangmu yang seperti itu, aku jadi geli. Kau itu tidak cocok dengan tampang seperti itu, hahaha.” Ben yang berdiri di samping Abdul itu cekikikan pelan membuat Abdul reflek menendang tulang kering pemuda itu.

“Betul, kau tidak cocok sama sekali, hahaha.” Tambah Fanny sambil menunjuk wajah Abdul yang memerah karena malu.

Abdul pun salah tingkah dan mengalungkan kedua lengannya ke Fanny dan Ben yang berdiri di sampingnya membuat mereka mengaduh kesakitan karena Abdul menjitak mereka bersamaan. Viona pun terkikik melihat tingkah 3 sahabat yang sudah berteman dengannya sejak di TK dulu.

“Terima kasih Semuanya.” Ujar viona pelan yang tenggelam bersama teriakan mengaduh dari Fanny dan Ben serta omelan Abdul.

“Kau bilang apa tadi?” Tanya Ben yang susah payah melihat Viona di depannya karena Abdul masih saja memeluk tengkuknya.

“Tidak ada siaran ulang.” Ujar Viona sambl tersenyum simpul. “O ya, apa pelaku pengirim bingkisan itu sudah ditemukan?”

Tiga sahabat Viona itu terdiam dan menghentikan ulah konyol mereka dan menatap Viona serius.

“Kau tidak usah memikirkan hal itu. Yang penting sekarang kau tidak boleh melakukan apapun tanpa sepengetahuan kami.” Ujar Fanny serius. “Dan yang terpenting lagi, kau jangan pernah mengabaikan apapun yang ada di sekitarmu lagi. Kami ini kan sahabatmu, kau paham??”

Viona sejenak terdiam lalu tersenyum dan mengangguk.

“Kami pasti akan menemukan siapa pelakunya, kau tidak usah khawatir. Yang penting sekarang kau sudah kembali tersenyum seperti dulu.” Ujar Abdul bangga.

Empat remaja itu tertawa riang dan menghabiskan hari itu dengan canda tawa yang memenuhi seisi ruangan dan tidak menyadari seseorang yang berdiri di balik pintu kamar sambil mengepalkan tinjunya disertai dengan tatapan dingin dan semyuman licik yang menghiasi wajahnya.

“Keberuntungan tidak datang dua kali, kau ingat itu Viona!!” Ujarnya sinis dan menjauh dari kamar inap Viona dengan berbagai rencana licik yang tersusun di benaknya.

 

~~~the_end~~~

.

.

.

.

Read, Comment, and Like youh, hehe.

Author:

Lahir dan dibesarkan di Desa Taluak, sebuah desa nan asri yang terletak di Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat. Mungkin ada kata-kata bahasa Padang yang di-Indonesia-kan, atau yang bahasa Minang bangets di postingan ini, harap dimaklumi saja, karena aku yang memang dibesarkan di daerah yang menggunakan Bahasa Minang sebagai bahasa sehari-hari. Hehehe.

Leave a comment