Posted in cerita bersambung, Fiction Imaginary

Sisterhood (part 7)

Sebelumnya…

.

.

“Jadi kau punya rahasia kecil rupanya.” Jasmine mengalihkan pembicaraan.

Sasha menatap Jasmine yang terlihat berusaha tenang walaupun kaget dan takut terpancar jelas di wajahnya. Jasmine lalu berdiri dengan tangan bersilang di dekat tempat tidur sepupunya itu.

“Rahasia kecil? Maksudmu?”

Jasmine mengangguk lalu memberikan cermin bertangkai ukuran sedang pada Sasha.

“Dan aku akhirnya mengerti kenapa ayah dan ibu marah besar padaku yang berkeras ingin membawamu ke Rumah Sakit waktu itu, bahkan karena kau, hukumanku jadi bertambah berat.”
“Jadi? Apa kau takut padaku?” Tanya Sasha datar setelah menyadari perubahan di matanya.

.

.

.

Sisterhood part 7

.

.

“Lain kali, jangan memberiku ide yang aneh-aneh lagi. Untung saja waktu itu aku tahu kalau terjadi masalah di sekolah. Aku tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi kalau tidak datang ke sana tepat waktu.”

“Jadi kau ingin aku memujimu, begitu? Kulihat waktu itu kau melaksanakan ideku, tapi kenapa sekarang kau marah padaku?”

“Aku datang ke sana karena aku mendengar percakapanmu dengan mereka, jadi aku terpaksa memakai kaca tipis melengkung yang harus dimasukkan ke mata itu. Jujur saja, sampai detik ini aku menyesal sudah mengiyakannya.”

“Itu namanya Lensa Kontak. Apa kau tidak pernah melihatnya?”

Sasha menggeleng.

“Aku pernah memakainya beberapa kali, apa kau tidak pernah melihatnya?”

Sasha kembali menggeleng. “Aku tidak pernah memperhatikannya.” Ujarnya menyeringai.

Jasmine mendesah kecewa. “Itulah, sesekali perhatikan sekelilingmu. Jangan sok sibuk sendiri saja.”

Sasha mendengus sebal. “Tersarah kau saja. Lagipula aku tidak peduli dengan hal-hal tidak penting dan berbahaya seperti itu. Mataku jadi gatal. Lebih baik aku memakai kacamata biasa saja, itupun kalau sudah tua nanti, bukan sekarang, hahaha.”

Jasmine terkekeh. “Kau ini bisa saja. Setidaknya kau sudah tahu apa itu Lensa Kontak dan pernah mencobanya. Zaman sekarang tidak tahu apa itu Co-Lens? Itu benar-benar keterlaluan.”

Sasha menyeringai salah tingkah dan mengambil sebuah kotak kecil di atas meja belajarnya. “Ini, kukembalikan. Aku tidak mau lagi memakainya, merepotkan sekali.”

Jasmine tertawa sekilas dan menyimpan kotak kecil berisi sepasang lensa bening itu ke kantong bajunya. “Sayang sekali, padahal ini adalah lensa favoritku.”

Sasha mengangkat bahu tanda tidak peduli lalu kembali berdiri di pinggir jendela dan menatap lurus ke depan. “Lensa itu menghalangi penglihatanku. Aku tidak bisa melihat lembah dan air mancur itu dengan jelas sampai gatal-gatal di mataku ini hilang.”

“Lembah dan air mancur?” Jasmine menghampiri Sasha dan menyapu pemandangan di luar jendela. “Aku hanya melihat padang rumput dan pepohonan. Memangnya kau melihatnya dimana?”

Sasha menunjuk sebuah bukit yang ditutupi serumpun pisang di ujung jalan. Terlihat kecil karena cukup jauh dari tempatnya berdiri. “Apa kau tidak melihatnya?”

Jasmine menghela nafas berat. “Apa kau menunjuk perbukitan itu? Aku hanya melihat setumpuk pohon pisang, itupun ukurannya sudah kecil sekali karena terlalu jauh dari sini. Kau jangan bercanda.”

“Aku tidak bercanda. Bukan pohon pisang itu, tapi agak ke belakang lagi.”

Jasmine menggeleng bosan. “Sepertinya sekarang kau harus istirahat dulu. Matamu jadi melihat yang tidak-tidak.” Ujarnya mendorong Sasha kembali ke kasurnya. “Lembah dan air mancur yang kau baru saja sebutkan itu ada di kota sebelah, itupun kalau memang benar itu yang kau lihat. Walaupun aku tidak percaya sama sekali kau bisa melihatnya dari sini.”

“Tapi aku benar-benar melihatnya. Aku selalu melihatnya setiap pagi sebelum pergi ke sekolah. Ada burung yang menari dengan riang, tetesan embun mengenai lumut yang berkilau terkena cahaya mentari pagi dan terkadang kalau sempat, beberapa kali aku pernah datang ke sana menghirup udaranya yang segar.” Ujar Sasha semangat lalu rebahan di pulau kapuk kesayangannya.

“Terserah kau saja.” Jasmine merapatkan selimut Sasha sebatas leher dan kaget saat Sasha menatapnya tajam.

“Kenapa? Kau tidak percaya padaku?” Tanya Sasha sebal. “Kapan-kapan aku bisa mengajakmu ke sana kalau kau mau.”

“Apa aku boleh bertanya sesuatu? Entah aku yang salah lihat atau memang ada yang tidak beres, akupun bingung. Sebenarnya apa warna bola matamu? Aku melihat beberapa warna berbeda akhir-akhir ini. Dan baru saja warna bola matamu itu berubah lagi.”

“Sama denganmu, ayah dan ibu. Warnanya cokelat kehitaman.”

Jasmine terbelalak melihat mata Sasha yang berubah dari biru sappire menjadi hitam cokelat kehitaman namun agak pudar. “Sekarang kau jujur padaku, apa lagi hal ganjil yang bisa kau lakukan selain sayap dan bola matamu yang memutih saat kau terluka parah itu?” Tanyanya merinding ngeri. “Sebaiknya kali ini kau mengatakan yang sebenarnya dan jangan menyembunyikan apapun lagi dariku.”

Sasha terdiam dan berpikir sejenak. “Sebaiknya kau tidak melihatnya. Terakhir kali yang aku dengar, kau pucat ketakutan saat keluar dari kamarku waktu itu. Walaupun Ibu tidak menceritakan semuanya tapi aku yakin kau sudah melihat ada yang lain dariku saat itu.”

Jasmine menggeleng tegas. “Aku ingin percaya padamu kali ini. Aku tidak mau lagi dibuat bingung olehmu yang seperti bunglon, bisa berubah sesuka hatimu.”

“Apa kau yakin?” Tanya Sasha menatap Jasmine sangsi. ‘Aku sudah berusaha semampuku agar tidak terlihat berbeda dengan kalian semua, tapi kenapa kau sekarang malah ingin melihat wujud asliku?’ Sambungnya dalam hati.

Jasmine menanggguk yakin.

“Baiklah, tapi aku tidak tanggung jawab kalau nanti kalau kau pingsan ketakutan.” Ucap Sasha menyeringai. ‘Dan kuharap kau tidak menganggapku sebagai monster seperti yang kau ceritakan ke Ibu waktu itu.’ Harapnya dalam hati.

“Akh, kebanyakan mukadimah.” Jasmine mendecak sebal dan melihatnya antusias. “Cepatlah!”

Sasha terkekeh lalu bangun dan berdiri tegap di samping tempat tidur, di seberang Jasmine. Gadis itu memejamkan mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Sejurus kemudian, sepasang sayap putih gading selebar kipas masing-masing selebar 1 meter mengembang dan mengepak anggun membuat tubuhnya terangkat ke atas. Sasha lalu membuka matanya yang kembali berwarna biru Sappire dan bermanufer dan mendarat mulus di depan Jasmine yang terpana.

burung (www.dinomarket.com)

(gambar: http://www.dinomarket.com)

“Inilah wujud asliku. Hanya sepasang sayap dan warna mataku saja yang agak berbeda.” Ujarnya lalu mengatupkan sayapnya. “Aku bisa menyembunyikan sayap ini dengan membuatnya kasat mata.”

“Ternyata kau lebih menakutkan dari Ibu yang sedang marah-marah, atau penampakan hantu kuburan di malam hari.” Celetuk Jasmine pelan, raut kaget dan tidak percaya terpancar jelas dari wajahnya. “Jadi selama ini kau menyamar? Apa kau tidak kerepotan? Maksudku, bagaimana cara menyembunyikan sayap selebar itu? Dan mata itu, berapa lagi warnanya? Itu bahkan lebih keren dari lensa kontak.” Lanjutnya antusias.

“Ini mata asliku. Aku tidak pernah menyamar, hanya berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini. Dan sayap ini, ibu memberiku pakaian khusus, jadi tidak akan robek hanya karena mengepakkannya atau semacamnya.”

“Jadi kau berniat memamerkannya pada Jasmine, begitu?”

Sasha menoleh ke pintu masuk di belakangnya sementara Jasmine sedikit memiringkan badannya ke samping karena terhalang Sasha lalu melihat Yusra datang dengan membawa segelas susu dan semangkuk bubur.

“Sebaiknya kau sekarang istirahat dan jangan bertingkah seenaknya.” Yusra menunjuk sayap yang seketika dibuat kasat mata oleh Sasha yang menyeringai salah tingkah.

“Ibu, lihat itu! Sayapnya hilang!” Jasmine histeris sambil menunjuk Sasha. “Atau jangan-jangan Ibu sudah tahu semuanya? Aku masih belum percaya walaupun sudah dengan mata kepalaku sendiri.”

Yusra tidak merespon, hanya menggiring Sasha kembali ke tempat tidurnya. “Lihat akibat ulahmu, bulu sayapmu itu bertebaran mengotori lantai. Sebaiknya kau jangan bertingkah lagi, kondisimu itu belum pulih sepenuhnya.” Ucapnya datar. “Dan jangan berpikir yang macam-macam, tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini.” Sambungnya mendelik ke Jasmine.

.

.

.

To be Continued

.

.

Bagaimana ceritanya? Semakin menarik?

Mohon Read, comment and like youh, agar aku lebih semangat lagi untuk menulis, hehe. 😀

Author:

Lahir dan dibesarkan di Desa Taluak, sebuah desa nan asri yang terletak di Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat. Mungkin ada kata-kata bahasa Padang yang di-Indonesia-kan, atau yang bahasa Minang bangets di postingan ini, harap dimaklumi saja, karena aku yang memang dibesarkan di daerah yang menggunakan Bahasa Minang sebagai bahasa sehari-hari. Hehehe.

Leave a comment