Sebelumnya…

.

.

“Inilah wujud asliku. Hanya sepasang sayap dan warna mataku saja yang agak berbeda.” Ujar Sasha lalu mengatupkan sayapnya. “Aku bisa menyembunyikan sayap ini dengan membuatnya kasat mata.”

“Ternyata kau lebih menakutkan dari Ibu yang sedang marah-marah, atau penampakan hantu kuburan di malam hari.” Celetuk Jasmine pelan, raut kaget dan tidak percaya terpancar jelas dari wajahnya. “Jadi selama ini kau menyamar? Apa kau tidak kerepotan? Maksudku, bagaimana cara menyembunyikan sayap selebar itu? Dan mata itu, berapa lagi warnanya? Itu bahkan lebih keren dari lensa kontak.” Lanjutnya antusias.

.

.

.

Sisterhood part 8

.

.

Jarum jam berdenting lembut, berputar dengan teratur. Tidak ada yang begitu peduli karena mereka sibuk dengan suara yang mengalun dari headset masing-masing. Pelajaran bahasa Inggris yang kali ini berlangsung di labor bahasa membuat para penghuni kelas tidak terlalu bosan menunggu jam pelajaran berakhir. Namun tidak bagi Salsa, gadis itu tidak sabar menunggu acara Listening dan reading ini segera berakhir. Padahal biasanya ini adalah ruangan favoritnya karena ia bisa dengan mendengarkan lagu-lagu kesayangan, atau suara VJ radio yang sedang siaran, atau suara lain yang ingin didengarnya tanpa ada yang terganggu dan tentu saja, tidak akan diceramahi oleh guru karena sepintas tingkahnya itu seperti anak-anak lainnya. Dan itu karena headset yang dipakainya sudah direkayasa menjadi mp3 player atau radio dadakan tanpa harus menyambungkannya ke alat tambahan apapun.

“Ini. Untukmu. Ambillah.”

Salsa melepas headset-nya dan menoleh ke samping melihat siapa yang memberikan sebotol jus lalu meletakkannya di meja.

“Untukku?” Tanya Salsa ragu. ‘Tunggu dulu, aku belum pernah melihat dia sebelumnya di kelas, apa dia siswa pindahan? Atau siswa baru?’ Sambungnya dalam hati.

“Iya. Ambillah. Tadi Jasmine menitipkannya padaku, tadi dia buru-buru dan sepertinya dia melupakan ini.” Ujarnya ramah lalu memberikan sedotan ukuran sedang.

Salsa mengangguk pelan lalu kembali memasang headsetnya. Tanpa disadari seulas senyuman misterius tersungging di bibirnya.

— — —

“Apa tempatnya masih jauh?”

“Sedikit lagi sampai. Kita hanya perlu mengikuti jalan setapak ini dan berakhir di hulu sungai di depan.”

lembah

( gambar: http://buttonde.exblog.jp )

 

“Rasanya kau sudah mengatakannya beberapa kali. Aku lelah.” Jasmine berhenti dan duduk di sebuah batu besar tak jauh dari aliran sungai. “Kenapa kita tidak terbang saja?”

“Kupikir sesekali datang kemari dengan jalan kaki itu tidak terlalu buruk.” Jawab Salsa menyeringai kuda.

“Tapi…” Jasmine dengan sigap menarik Salsa ke belakang. “Hati-hati.” Ujarnya panik.

“Memangnya ada apa?” Sasha menatap Jasmine heran. “Aku tidak melihat apapun.”

Jasmine terkejut melihat mata Sasha yang perlahan berubah warna. “Apa kau…” Jasmine terdiam dan mengambil nafas dalam-dalam. “Sebaiknya kita pulang sekarang, sudah petang dan mendung pula. Aku tidak mau dimarahi Ibu karena pulang basah kuyup nanti.” Jasmine lalu menarik lengan Sasha kembali merunut jalan setapak di depan mereka.

“Tapi kita hampir sampai. Rugi kalau kau sampai tidak sempat datang ke sana. Lagipula aku sudah janji mengajakmu ke sana.” Ujar Sasha merajuk.

“Aku tidak mau tahu. Sekarang kita pulang. Titik.” Ucap Jasmine tegas lalu mengiring Sasha menapaki jalan setapak selebar ½ meter itu.

“Tapi…”

Jasmine memotong kalimat Sasha dengan gelengan tegas. Sasha pun menurut dan berjalan mengikuti Jasmine yang jalan di depannya, sesekali mengulum senyum melihat wajah manyun Sasha. Beberapa kali Sasha mencoba mengepakkan sayap namun gagal, bulu sayapnya berguguran satu per satu diiringi nafasnya yang tidak teratur. Seolah tidak mendengar apapun, Jasmine mempercepat langkahnya menyusuri jalan setapak menuju ke luar hutan yang menjadi jalur masuk menuju lembah yang diceritakan Sasha tempo hari.

“Apa kau… bisa pelan sedikit. Aku lelah.”

Jasmine tidak mengacuhkan dan terus berjalan mendekati cahaya keluar di ujung jalan sembari menggenggam lengan Sasha erat.

“Kita hampir sampai. Kita harus keluar dari hutan ini sebelum hujan turun.” Ujarnya tegas.

BRUUKK!!

“Kau tidak apa-apa?” Jasmine membantu Sasha bangun setelah jatuh telungkup karena tersandung akar pohon yang mencuat.

“Sudah kubilang, aku lelah. Apa kita tidak bisa istirahat sebentar?” Tanya Sasha pelan dengan nafas memburu.

Jasmine menatap Sasha iba. Ingin rasanya menurut dan istirahat agak sebentar karena dia pun juga agak lelah berjalan. Namun setelah melihat mata Sasha yang semakin mendekati warna aslinya itu memaksanya agar segera membawa sepupunya itu pulang sebelum hujan benar-benar turun membuat hutan semakin gelap dan lembab. Jasmine takut Sasha semakin lemah karena matanya yang semakin redup atau yang lebih parah, Sasha kehilangan kontrol akan kekuatannya sendiri dan bisa menimbulkan masalah baru untuk mereka.

“Oh, ayolah. Sebentar saja.” Sasha merajuk. “Nanti setelah kekuatanku mulai pulih, kita pulang dengan terbang dari sini.”

Jasmine berfikir sejenak. “Baiklah kalau begitu, tapi jawab dulu pertanyaanku. Aa kau sedang terluka? Atau sedang kurang sehat?”

Sasha menyernyit bingung dan menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Kenapa kau bertanya seperti itu?” Tanyanya sembari merogoh tas dan mengeluarkan sebotol jus ukuran sedang.

Jasmine mengamati minuman botol yang diteguk Sasha. “Darimana kau mendapatkan minuman itu?”

“Eh?” Sasha menatap botol yang isinya tinggal sepertiga di tangannya. “Bukankah kau yang memberikannya padaku?”

“Aku…” Jasmine berpikir sejenak. “Rasanya aku tidak pernah melihat minuman itu sebelumnya. “Apa kau yakin?”

Sasha mengangguk yakin. “Tadi ada yang memberikannya padaku, katanya itu darimu. Rasanya enak sekali, apa kau mau mencoba?”

Jasmine meraih jus itu dan kaget saat membaca merek yang tertera. “Bukankah ini… hanya sebotol jus jeruk?” Tanyanya bingung. “Tapi apa kau tidak lihat ini?” Tanyanya kaget sembari menunjuk sederetan angka di bagian tutup botol. “Memangnya apa yang kau lakukan selama ini? Apa kau tidak pernah memperhatikan tanggal kadaluarsanya?”

Sasha menautkan alis. “Memangnya itu perlu?”

“Aduuuh, memangnya selama ini kau kemana saja? Apa kau benar-benar tidak tahu atau kau memang tidak pernah memperhatikannya dengan teliti.”

Sasha semakin bingung dengan arah pembicaraan Jasmine namun urung bertanya atau sekedar menanggapi. Ia memilih duduk bersandar di batang pohon di dekatnya dan meluruskan kaki.

“Apa kau kehabisan kata-kata? Aku jadi semakin bingung, bagaimana caramu bertahan, minuman kadaluarsa seperti ini saja kau tidak tahu. Selama ini apa saja yang kau lakukan?” Jasmine mengomel berkacak pinggang.

“Hmm… kalau boleh jujur, aku baru pertama kali minum minuman botol dan semacamnya. Biasanya aku hanya makan makanan yang dibuatkan Ibu atau buah yang kubawa dari rumah, itu pun Ibu yang memilihkan untukku. Mungkin terdengar agak manja dan berlebihan, tapi memang seperti itu kenyataannya. Aku memang penasaran dengan makanan dan minuman siap saji di luar sana, tapi yaah… kau tahu, aku… sedikit berbeda jadi aku tidak mau sesuatu yang merepotkan terjadi di kemudian hari. Dan ibu pasti akan segera tahu kalau aku makan makanan di luar, aku juga tidak tahu dari mana beliau mengetahuinya, tapi begitulah kira-kira. Aku biasanya memilih jalur aman saja, hehe.”

Jasmine tertegun lalu menghela nafas berat. “Dan kenapa botol ini sekarang ada padamu? Isinya pun hampir habis, apa kau meminum semuanya?” Jasmine mencium bau aneh dari dalam botol.

“Tadi sudah kuceritakan, ada yang memberikannya padaku, dan katanya itu pemberian darimu. Kupikir itu tidak apa-apa selama itu darimu.”

Jasmine mengurut kening. ‘Dasar bocah lugu, aku jadi bingung apakah harus marah atau kasihan padamu.’ Gumamnya dalam hati. “Baiklah, sekarang kita pulang saja, dan jangan membantah.” Titahnya tegas. “Aku tidak mau lagi mendengar ocehanmu yang menyebalkan itu.”

Sasha pun menurut. Raut kecewa dan sedih terpancar dari wajahnya yang kian memucat. “Aku… minta maaf. Aku selalu merepotkan…”

“…Berhenti mengoceh dan teruslah berjalan.” Potong Jasmine ketus. “Aku tidak suka melihat bocah sok sensitive seperti kau yang sekarang ini. Dan sebaiknya kau harus cepat bergerak sebelum hujan turun dan hutan ini semakin gelap atau kau mau menginap di hutan ini? Kalau aku, maaf saja. Aku tidak mau mengurusi bocah cengeng dan merepotkan sepertimu.”

Sasha hanya diam dan menuruti Jasmine yang menarik lengannya agar berjalan dengan cepat keluar dari hutan lembab yang mulai dihampiri awan yang dingin itu. ekspresi kesal Jasmine tidak mampu menutupi raut khawatir dan takutnya.

“Sepertinya kau tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Baiklah kalau begitu, berpegangan yang erat.” Ujar Sasha mantap lalu merangkul pundak Jasmine erat dan mulai mengibarkan sayapnya.

“Tapi…”

Sasha tidak menghiraukan ucapan Jasmine dan terus mengepakkan sayap menuju ke langit yang termaram hingga keluar dari hutan.

“Apa kau serius? Dengan kondisimu yang seperti ini?” Jasmine melihat bulu sayap Sasha berguguran satu per satu mengiringi nafasnya yang terdengar sesak.

“Karena kau yang berkeras ingin segera pulang, aku jadi tidak tega. Aku rasa ini masih sempat. Berpegangan yang kuat!”

Sasha, dengan mengerahkan seluruh tenaganya yang hanya tinggal satu-satu lalu menghilang dalam sekejap setelah terbang lurus beberapa meter melintasi barisan pohon pinus di bawahnya.

.

.

.

To Be Continued

.

.

Bagaimana ceritanya? Semakin seru? 🙂 Atau… semakin membosankan? 😦

Mohon Read, Comment, Like & jejaknya ya! Agar aku semakin semangat menulis, hehe

Sisterhood (part 8)

Sebuah cerpen

by : MiO Khairina

.

.

.

Is it here??” Seorang gadis keluar dari sebuah sedan mewah yang cukup ternama dengan tatapan takjub dengan pemandangan alam nan elok dan asri yang terhampar di depannya. “This place is same like before. Beautiful with refreshing air.” Ujarnya dengan senyum terkembang, menampakkan lesung pipit yang menambah pesona wajah putihnya yang manis.
“Jangan lupa logatmu, nak.” Ujar pria 40 tahunan yang datang bersamanya sambil mengambil koper yang ditaruh di bagian belakang mobil.
“Maaf. Aku lupa.” Ujar gadis itu salah tingkah. “Apa rumah paman di sini?” Tanya gadis itu semangat sambil menunjuk rumah sederhana yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Ya, maaf ya Nona, kalau tidak sesuai dengan harapan Nona.”
“That doesn’t matter. I like… I mean, aku suka rumahnya.” Jawab gadis itu riang.

Tiba-tiba seorang anak kecil kira-kira 5 tahunan keluar dari rumah itu dan berlari ke arah sang paman yang kerepotan menenteng beberapa koper ukuran besar millik anak mantan majikannya itu. Pria paruh baya itu segera menaruh koper-koper itu dan memeluk anak kecil yang berlari dengan semangat ke arahnya itu dengan senyuman manis terkembang di wajahnya. Mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah rumah ukuran sedang dengan dinding yang terbuat dari papan yang disusun rapi.

Is he your son…? Sorry, itu anak paman?”
“Ya, ini anak bungsu saya Nona, namanya Abdul.”
“Kakak sudah datang, aku sudah tidak sabar melihat kakak. Ternyata kakak cantik sekali.” Seorang gadis kecil kira-kira 8 tahunan keluar tak lama setelah adiknya bersorak kegirangan karena kedatangan ayahnya itu dan segera memeluk anak gadisnya.
“Dan ini anak saya yang paling besar, Nona. Namanya Risma.” Terang paman.
“Ayo masuk Kak.” Risma menarik-narik lengan Angel, gadis 17 belas tahun itu.
“Kakak, ayo masuk.” Risma terus menarik lengan Angel yang masih terpaku di depan rumah sederhana itu, rumah yang penuh kenangan baginya itu.
Ok, ok. I’ll go in. Wait a minutes.” Ujar Angel yang akhirnya menurut dan mengikuti Risma, berjalan ke jalan besar tak jauh dari rumah mereka.
“Kebetulan sekali.” Risma melepas pegangannya di lengan Angel dan berlari ke arah seorang gadis dan seorang pemuda berseragam putih abu-abu yang berjalan beriringan di ujung gang menuju komplek perumahan mereka. Risma menarik menarik 2 orang itu hingga sampai ke hadapan Angel yang bingung dan mencoba mengingat-ingat.
“Ini siapa?” Tanya gadis yang barusan di tarik Risma bingung sambil menunjuk Angel yang tersenyum riang menyambut keduanya.
“Angel…?” Tanya pemuda yang ditarik Risma itu ragu.
“Yes.” Jawab Angel riang. “You are… I mean… kalian masih tinggal di sini?”
“Ya, memangnya aku tinggal di mana lagi, huh?” Jawab si gadis ketus. “Memangnya kau siapa? Sok pakai bahasa Inggris segala.” Gadis itu memperhatikan Angel dari kepala hingga kaki dengan tatapan sinis.
“Kau lupa padaku?” Tanya Angel tidak percaya. Gadis itu hanya mengeleng pelan dan mendesah kecewa.
“Karin, apa kau sudah pikun ya? Dia itu Angel.” Ujar pemuda itu sambil menjitak kepala gadis yang disapa Karin itu pelan.
“Kau juga Hendra, memangnya kau kenal dia? Apa dia salah satu dari sekian orang yang pura-pura kau kenal, huh?” Tanya Karin pelan sambil menatap gadis bermata cokelat dengan rambut hitam yang tergerai panjang bergelombang itu sinis.
“Ternyata kau tidak berubah ya, hmm…” Angel mencubit pipi chubby Karin membuat gadis itu tersadar dan kaget.
“Kau, si kunyuk cengeng yang selalu menempel padaku kan?” Tebak Karin semangat saat teringat Angel, yang dulu sering sekali mencubit pipi chubby-nya itu, sambil tersenyum jahil.
How dare you, I never like that…” Ujar Angel pelan sambil memanyunkan bibirnya sebal.
“Kau itu juga tidak pernah berubah. Selalu saja manyun saat kubilang begitu dan akhirnya matamu itu berkaca-kaca lalu menangis tersedu-sedu di balik pohon itu, hahaha.” Balas Karin dengan tawa sumringahnya saat melihat mata Angel yang mulai berkaca-kaca sambil menunjuk sebuah pohon besar tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Dasar bodoh, aku tidak cengeng seperti dulu lagi, mataku ini berair karena angin yang bertiup kencang.” Ujar Angel berkilah.
“Hahaha. Sudah sudah.” Ujar Syamsul, sang sopir setia itu merelai 3 remaja itu. “Kalian masuklah dulu, lanjutkan ceritanya di dalam saja.”
“Ya, ayo.” Risma menarik lengan Angel dan Karin sementara Abdul menarik lengan Hendra masuk ke rumah mereka.
Semuanya pun berkumpul di rumah Syamsul dan bercengkrama dengan semangat tanpa menyadari seseorang memperhatikan mereka semua dari jauh dengan tatapan benci dan menyunggingkan senyuman licik setelah meletakkan sepucuk surat di depan pintu masuk rumah Syamsul.

***—***

“Dasar pelupa. Sudah tau ada presentasi makalah hari ini, kau malah begadang sampai malam. Lihat akibatnya sekarang, aku jadi harus menyeretmu ke sekolah agar kita tidak terlambat presentasi hari ini.” Omel Karin sambil menyeret Hendra dengan seragamnya yang berantakan, bahkan masih mengigit potongan roti di mulutnya.
“Memangnya siapa yang harus begadang mengulang menyusun kembali bahan presentasi yang kau jatuhkan ke sungai kemarin, huh? Dasar payah.” Umpat Hendra dengan suara yang terdengar aneh karena mulutnya yang penuh dengan sepotong roti yang dilahapnya sangar hingga menggembungkan pipinya.
Angel yang berdiri di depan rumah Syamsul, pun menoleh ke sumber suara yang makin nyaring itu. Angel menghampiri 2 remaja yang sedang adu mulut pagi itu dan tersenyum geli melihat 2 sohib sedari kecilnya itu berjalan dengan tergesa-gesa dengan seragam mereka yang masih berantakan itu.
What are you doing?” Tanya Angel menahan tawa melihat Hendra yang sangat berantakan, mulut gembung penuh roti, kemeja seragam yang kancingnya belum terpasang sempurna, dan mengapit beberapa perkamen di tangannya.
“Sebaiknya kau diam saja.” Ujar Karin ketus dan terus menyeret Hendra yang makin kerepotan hingga tanpa sadar beberapa gulungan kertas itu berceceran.
Angel mengambil gulungan kertas ukuran sekayu itu dan membuka gulungannya, menyernyit sejenak dan akhirnya mengangguk paham. Angel terpaksa berlari menyusul Karin dan Hendra yang sudah mengambil langkah seribu hingga sampai halte dan naik angkot agar tidak terlambat sampai di sekolah mereka di kota seberang.
“Kalian berdua memang sangat merepotkan.” Ujar Angel lalu menyerahkan gulungan milik Hendra yang berhasil diselamatkannya. “Lagipula, ada beberapa yang harus diperbaiki dari tulisanmu itu.”
“Tunggu dulu…” Karin menatap Angel bingung. “…Kau menyusul kami? Bagaimana caranya?”
Why? This car is too slow, so I can get on it easily.” Angel menyeringai.
Karin dan Hendra saling tatap, tidak yakin dengan ucapan Angel barusan karena gadis setengah bule ini tadi 200 meter di belakang mereka, tertinggal cukup jauh terlebih dengan angkot yang melaju kencang yang cukup sulit disusul jika sudah berjalan karena kecepatannya yang diatas rata-rata karena supirnya yang ugal-ugalan.
“Lalu apa maksudmu dengan tulisanku yang harus diperbaiki?” Tanya Hendra sangsi. “Apa kau sudah pernah belajar ini sebelumnya, huh?”
Of course. I’ve graduated from high school almost 3 years ago.” Angel menyeringai bangga memamerkan deretan giginya yang rapi dan mengacungkan 2 jarinya membentuk huruf V.
“Ah, tidak mungkin.” Sanggah Karin. “Aku tidak percaya kau bisa sehebat itu.” Sambungnya menggeleng.
“It’s true.” Angel meyakinkan. “Believe or not, it’s up to you.” Sambungnya cuek lalu berpaling ke jendela, menikmati pemandangan alam yang didominasi rerumputan dan pepohonan yang tinggi dan rimbun.

Angkot melaju dengan tenang menyisakan pertanyaan yang bergelayut di benak Karin namun urung untuk diungkapkan. Sementara Hendra sibuk memperhatikan lembaran-lembaran kertas yang menurut Angel harus diperbaiki namun tidak dijelaskan dengan rinci dimana letak kesalahannya. Angel yang sesekali menoleh ke Hendra hanya tersenyum geli melihat pemuda di hadapannya itu beberapa kali menautkan kedua alis matanya, bahkan memutar-mutar skema yang menurutnya sudah dibuat dengan teliti.

***—***

“Sekarang kau jawab dengan jujur, apa tujuanmu datang kemari?”
“Memangnya kenapa? Tumben sekali kau bertanya?”
“Sebenarnya aku sudah lama ingin menanyakan itu padamu, tapi aku selalu ragu dan tidak yakin.”
“Apanya?”
“Sebenarnya kau datang kemari bukan untuk liburan atau semacamnya, iya kan? Jawab aku.”
“Karin… should I answer it?”
Karin hanya mengangguk dengan tatapan penasaran. Angel pun menyerah dan menghela nafas panjang.
Ok, then. Actually…”
“…Finally I found you.”

Angel dan Karin pun berbalik menoleh ke sumber suara di belakang mereka. Seorang pria jangkung berkulit pucat dengan wajah sangarnya menyeringai licik.
“I’ve told you, you can’t run away from me.”
“So? What do you want?”
You.”
“Jadi ini yang kau lakukan di luar sana? Aku tidak menyangka sama sekali.” Karin berceloteh di samping Angel.
What do you mean? I didn’t do anything.”
“Jangan sok pakai bahasa Inggris segala. Aku sudah tau siapa kau.”
“Kau salah sangka padaku rupanya. Memangnya apa yang ka bayangkan tentang aku?”
“Kau itu seorang mata-mata, iya kan? Kalau tidak kenapa bule itu sampai jauh-jauh mencarimu ke kampung kecil ini?”
“Terserah kau saja. Aku kira kau membayangkan aku yang aneh-aneh. Sebaiknya sekarang kau siap-siap.”
“Baiklah, sekarang kita akan melawannya?” Karin mengambil kuda-kuda.
Listen me. Dalam hitungan tiga, kau harus mengikutiku.”
“Ok.”
“Satu… tiga, run.”
“Eh? Kita kabur?”
Angel menarik lengan Karin mengambil langkah seribu menyelamatkan diri dari pria bule yang juga mengejar mereka dengan cepat. Tidak dihiraukannya omelan Karin yang terus bertanya siapa dia dan kenapa mereka harus melarikan diri sejauh mungkin.
Karin dan Angel bersembunyi di balik sebuah tembok di dekat rumah reot yang lusuh. Pria jangkung itu berhenti tepat di persimpangan jalan, tak jauh dari pondok banbu tua itu dan menengok kanan-kiri dan memutuskan untuk kembali bergerak cepat melalui jalan setapak di depannya.
“Karin, listen me. Aku akan menjelaskan semuanya, tapi itu nanti setelah kita berhasil lolos dari mereka.” Angel berujar pelan setelah melihat tidak ada seorang pun mengejarnya.
“Tapi…”
Angel membekap mulut Karin saat melihat si pria bule beserta beberapa anak buahnya itu hampir menemukan mereka yang bersembunyi di balik tembok pagar sebuah rumah kosong yang lumutan.
Angel menilik pria bule dengan beberapa anak buahnya yang kini berpencar ke segala penjuru mencari mereka. “If we get second chance, I’ll tell you everything.”
“Maksudmu?”
Angel menilik Karin sekilas dengan senyuman penuh arti lalu mengambil ancang-ancang pertarungan.

–The~End–

Second Chance

Sebuah cerpen

By : MiO Khairina

.

.

.
“AAAAA.” Santi tiba-tiba masuk ke kamarnya dan berteriak.
Rani yang sedang asyik membaca komik di kamar kos-kosan mareka itu kaget dan menoleh ke asal suara yang berdiri di ambang pintu masuk kamar mereka dengan nafas ngos-ngosan itu. “kenapa? Ada apa? tanyanya bingung.
Seolah tidak mendengar pertanyaan rani barusan, Santi mulai mencari, atau lebih tepatnya mengacak seluruh bagian kamar.
“Kau ini kenapa?” Rani mencoba menghentikan teman satu kos-kossannya yang seperti orang mengamuk itu. “kau sedang mencari apa?”
“Itu…. hilang.” Ujar Santi terbata sambil terus mencari sampai ke sudut ruangan. Bahkan mejngukir-balikkan kasur, tempatnya biasa berbaring.
“Apanya yang hilang?” Rani makin bingung.
“Itu… hilang.” Ulangnya pelan tanpa menghentikan kerjaannya.

Santi yang geram pun menghentikan ulah Santi yang membuat kamar mereka kini seperti kapal pecah itu dan menyuruhnya duduk. “Sebenarnya kenapa? Apa yang hilang?”
Santi terpana dan menatap rani nanar. “Hmm, apa ya?”
‘Aduuh, kenapa sohib gua yang satu ini pelupa sekali. Tadi dia panic sekali, sekarang malah bengong seperti orang bego.’ Gumam Rani prihatin.
“Oke. Gue ulang lagi ya kejadian tadi. Tadi itu ya, lo masuk ke kamar sambil berteriak kayak orang gila lalu mengamuk dan mengacak-acak kamar ini. Lo bilang tadi kalo lo itu lagi nyari barang yang hilang.” Terang Rani.
“Lalu?” Tanya Santi dengan tampang innocent-nya.
“Kau lihat ulahmu ini. Sepertinya kita harus kembali membereskan ini semua. Lihat, kasurku saja sampai kau jungkir-balikkan seperti itu.” Ujar Rani sambil menunjuk kasurnya yang tidak lagi di posisinya semula. “Sekarang kau ingat lagi, tadi kau kemari mencari apa?”
“Aku lagi nyari… hmm…” Santi mencoba mengingat-ingat. “Aku sedang mencari hapeku.”
“Hape?” tanya Rani bingung. “Bukannya hape-mu di dalam tas?” Ujar Rani.
“Di… dalam tas?” Ulang Santi ragu. Gadis itu segera membalikkan tas sekolah Rani hingga semua isinya bertaburan. “Tidak ada.” Ujanya pasrah.
“Lo itu gimana sih? Ini tas gue, mana ada hape lo di tas gue!!” Ucap Rani geram. “Tas lo mana? Bukannya tadi katanya adanya pelajaran tambahan di kelas lo sore ini?”
“Ah, iya ya?” Tanya Santi dengan tampang tidak bersalahnya itu.
“Kau ini bagaimana sih? Tadi lo bilang kalau ada pelajaran tambahan di kelas lo dan lo bawa tas dan masukin hape lo ke dalamnya.” Terang Rani gemas.
“Hmm…” Santi mencoba mengingat-ingat kembali. “Apa iya ya?”
“Aaaaaakh, kau iniiii!!!!” Teriak Rani frustasi lalu mengambil buku kecil berisi jadwal kegiatan Santi yang tadinya ada di meja belajar Santi, sekarang tepat di kakinya. “Kau lihat ini.”
“Ah, aku ingat, hapeku ada di dalam tas.” Ujar Santi semangat sebelum sempat melihat tulisan yang ada di catatan kecilnya itu. “Aku lupa, setelah aku sampai di kelas aku menaruh tasku di meja dan keasyikan ngobrol sama Luna dan Rasti di depan kelas. Hahaha.” lanjutnya santai.
“KAU INI!!!” Teriak Rani emosi. “LIHAT AKIBAT ULAHMU, KAMAR INI SEPERTI KAPAL PECAH. INI SUDAH KETIGA KALINYA DALAM 2 MINGGU INI.” Lanjutnya geram.
“Ah, iya ya? Hahaha, maaf maaf.” Ujar Santi nyengir lalu bersikap pergi.
“Kau mau kemana?”
“Ada pelajaran tambahan di kelas, aku sudah telah nih.” Ujar Santi.
“Lalu ini bagaimana?”
“Nanti kubereskan.” Ucap Santi. “Aku tidak akan lupa kok, nanti setelah pulang sekolah kubereskan.” Ujarnya dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V dan meninggalkan Rani yang geram.
‘Aaaaakh, kenapa sohibku ini pikun sekali?? Jadi heran, kenapa dia bisa memenangkan olimpiade matematika se-Kecamatan Minggu lalu.’ Sungut Rani sambil meniliki seluruh isi kamarnya yang berantakan itu prihatin.

Rani pun menghela nafas panjang dan mulai merapikan kamarnya yang sangat berantakan itu sampai perhatiannya teralih pada sebuah kotak di atas meja belajar Santi. Ponsel yang jadi perkara pun terdiam membisu di dekat kotak karton berwarna kecoklatan itu. Rani pun tertegun setelah melihat layar Smartphone itu menyala sekilas tanda seseorang di seberang sana sedang menghubungi nomor sahabatnya itu.
‘Sepertinya ponselmu ini harus aku sita terlebih dahulu.’ Gumamnya dengan menyertakan beberapa flash disk 4 gb dan 8 gb yang diambil dari kotak seukuran kotak sepatu itu.

=== Miss Lupa ===

Santi masuk ke kamar kost-nya dan duduk dengan santai di meja belajarnya lalu membuka laptop kesayangannya sembari merogoh kotak di sudut meja belajarnya. Rautnya mulai panik hingga mengacak-acak kotak itu hingga kesudut-sudutnya.

“Mencari sesuatu?” Tanya Rani santai tanpa beralih dari komik yang dibacanya.
“Ah, tidak juga.” Santi gelagapan lalu terdiam dan kembali bermain dengan laptopnya namun tidak lama kemudian kembali mengacak-acak kotak keramatnya itu.
“Sepertinya kau mencari sesuatu yang penting.” Rani menaruh komiknya dan mendekat ke Santi yang mulai panic.
“Ah, tidak juga. Aku hanya mencari pensilku, hehe.” Santi kembali salah tingkah.
“Apa kau mencari ini, Miss Berry?” Bisik Rani tepat di telinga Santi sambil menyodorkan flash disk 8 gb tepat di depan matanya.
“Darimana kau mendapatkan itu.” Santi berujar dingin.
“Salahkan dirimu sendiri yang ceroboh dan membiarkan barang-barangmu berserakan.” Rani tersenyum licik lalu menyimpannya di saku bajunya. “Kau tau? Tidak semua orang bisa kau kelabui dengan tingkahmu yang pura-pura pelupa itu.”
“Lalu? Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Hmm, sepertinya aku punya ide bagus. Kau tau? Aku kenal seseorang yang bekerja di kepolisian, cyber crime.” Ucapnya berbisik. “Sebaiknya apa yang akan kukatakan padanya ya?” Lanjutnya kembali tersenyum licik.
“Aku…”

Santi terdiam saat melihat seberkas cahaya menyilaukan matanya hingga akhirnya terbangun dari mimpi buruknya.

— — —-

“Sepertinya kau sangat kelelahan, bahkan meja belajar pun tidak masalah untukmu.” Santi berujar tanpa mengalihkan pandangannya dari komik yang di bacanya.
“Hehehe, kau tau. Akhir-akhir ini banyak tugas yang harus kukerjakan.” Jawab Rani sekenanya lalu merogoh kotak di sudut meja belajarnya.
Santi pun berubah panic saat tidak menemukan sesuatu yang dicarinya di kotak kesayangannya itu hingga menguliknya sampai ke sudut-sudutnya.
“Mencari sesuatu?” Tanya Rani pelan.

Santi terkesiap dan menoleh ke Rani yang tiduran sambil membaca komiknya. Gadis itu kembali menghadap ke laptopnya dengan perasaan berkecamuk. ‘Tidak mungkin itu De Javu kan?’ Pikirnya ngeri.

“Sepertinya kau mencari sesuatu yang penting?” Tanya Rani lagi sembari berjalan ke arah Santi yang mengacak-acak kotak ukuran sedang itu.

‘Sepertinya memang de Javu. Tamatlah riwayatku.’ Pikir Santi yang menatap Rani yang berjalan perlahan ke arahnya itu ngeri.

===Fin===

Miss Lupa

Sebuah cerpen

By : MiO Khairina

.

.

.

Pertemuan itu, memberikan kesan yang bahkan tidak bisa diartikan dengan untaian kata-kata yang paling sederhana sekalipun. Tatapan mata itu memberikan beragam makna tersirat, yang walaupun tidak bisa diatikan oleh 2 insan manusia itu. Ya, hanya pemuda itu sendiri yang dapat mengartikan tatapannya pada gadis yang sudah beberapa tahun yang lalu tidak lagi berjumpa dengannya secara langsung, hanya dengan perantaraan media sosial dan pesan singkat dari ponsel saja.
Bayangan akan masa lalu menjadi kenangan yang masih melekat di benak pemuda yang sudah lebih dulu sampai di sebuah café ternama di kota metropolitan itu. Sang pemuda sesekali tersenyum simpul, membayangkan sahabatnya yang sudah beberapa tahun tidak berjumpa. Beragam pertanyaan sudah tersusun rapi di benaknya agar suasana canggung tidak tercipta karena waktu dan jarak yang telah memisahkan mereka.
15 menit…
Sang pemuda yang sengaja datang lebih awal itupun mulai dihinggapi rasa jenuh dan bosan, bahkan pertanyaan bodoh dan keraguan akan kedatangan sahabatnya itu mulai menghinggapinya. Ponsel yang sedari tadi setia menemani pun tidak mampu lagi mengusir rasa bosan yang menyapanya. Pemuda itupun mulai merangkai kata-kata untuk mengungkapkan rasa kesalnya saat bertemu dengan sahabatnya sedari kecil itu nanti.
Lonceng pun berbunyi, tanda seseorang masuk ke café minimalis itu. Seorang bule Inggris. Pemuda itu melihat sekilas lalu kembali sibuk memainkan ponselnya dengan raut kesal yang makin kentara di wajahnya. Pramusaji saja berpikir dua kali untuk mendekatinya, bahkan hanya untuk menanyakan menu apa yang akan di pesannya setelah duduk cukup lama di café mereka dengan hanya segelas air putih yang tinggal sepertiga gelas.
20 menit berlalu…
Lonceng kembali berbunyi. Pemuda itu kembali menoleh untuk kesekian kalinya, melihat siapa yang datang, seorang bule Afrika, yang diiringi seseorang yang wajahnya tertutupi pria tinggi kekar itu. Kecewa dan kesal kembali terpancar di wajah pemuda indo Cina itu. Dengan kesal yang sudah memuncak, pemuda itu menghabiskan minumannya dan menyimpan smartphone di sakunya dan bersiap pergi. Namun pemuda itu tertegun sejenak dan terpaku di tempatnya saat melihat seseorang berhenti dan duduk di bangku tepat di depannya.
“Sepertinya meja ini sudah di pesan ya?” Ujarnya santai.
“Ah, tidak juga. Lagipula aku juga akan pergi.” Jawab pemuda itu pelan lalu berdiri dari duduknya tanpa meliht ke sumber suara.
“Begitu?”
“Ya, silahkan duduk.” Ujar pemuda itu sekenanya.
“Sepertinya kau sedang kesal? Apa aku boleh tau kenapa?” Ujarnya sambil membuka buku menu di meja. “Lagipula, apa kau tidak penasaran dengan menu-menu yang ada di sini, kulihat kau tidak memesan makanan atau minuman.”

Pemuda itu kembali duduk di bangkunya dengan ekspresi manyun dan tatapan kesalnya. “Tidak, terima kasih Mbak.”
“Setidaknya temani aku di sini sebentar.” Ujarnya santai. “Aku pesankan makanan untukmu ya?”

Pemuda itu hanya diam dengan senyuman risih tersungging di bibirnya. Gadis itu mengangguk dan menunjuk beberapa menu kepada pramusaji yang masih berdiri di samping meja mereka. Pemuda itu hanya diam dengan sesekali menegok kanan-kiri, menacari sosok yang sedari tadi di tunggunya.
“Apa kau masih menunggunya?” Tanyanya pelan dengan sesekali menutupi bibirnya yang beberapa kali mengulum senyum.
“Ah tidak.” Jawab pemuda itu gelagapan. “Apa Mbak juga sedang menunggu seseorang?”
“Tidak juga, aku sudah bertemu dengannya.” Jawabnya tersenyum lebar. “Lagipula, jangan memanggilku Mbak, kita ini seumuran kok.”
Kama paja tu? Dak jadi lah paja tu kamari? Abih di siko se wakatu Mbo gara-gara paja tu mah eh. Ncak anti se Mbo kamari tadi lae. Hasiang-hasiang se parangai paja tu. Caliak se lah kalau sobok jo paja tu, Mbo hariak nyo, tu di lapak kapalonyo ciek.” Pemuda itu mengomel pelan dengan logat Minang yang khas sembari memainkan ponselnya.
Gadis yang sedang meneguk minumannya itupun tiba-tiba tersedak dan batuk-batuk.
“Ah, maaf maaf. Apa aku mengejutkanmu?” Tanya pemuda itu panic.
“Hahaha.” Jawabnya terkekeh, masih dengan sesekali terbatuk.
“Kenapa? Apa ada yang lucu?”
Ondeh…. Sabana lah kawan wak nan sorang ko eh.” Ujar si gadis sambil menggeleng prihatin.
Pemuda itupun kaget dan kembali menilik gadis berkacamata yang dengan santai mengemut es krim float-nya. Pemuda itu lalu lalu tiba-tiba berdiri dan menunjuk-nunjuk gadis yang masih dengan santai dengan es krim favoritnya itu.
Baa? Macam tu bana tu? Takajuik bana yoh? Biaso se lah eh.” Sang gadis berujar santai.
Pemuda itu terpaku. “Jadi… kau bisa bahasa Minang? Kau siapa?” tanyanya, masih menunjuk-nunjuk gadis cuek di depannya.
“Hhhhh… sepertinya kau benar-benar lupa padaku.” Desahnya kecewa.
“Tunggu dulu… Sia wak? Apo awak… si Upiak Sarimi?” Tanya pemuda itu setengah berteriak.
Kibo wak Nampak?” Tanya si gadis sebal. “Kibo nyo se nan takana nyoh? Ondeh, Ibo ati wak eh. Ciek lae, bilo lo wak jadi Upiak Sarimi? Dak pernah rasonyo doh lah!”
“Wajahmu… terlihat berbeda, sangat berbeda. Tidak mungkin. Sekarang kau katakan padaku, siapa kau? Apa kau temannya? Apa dia yang menyuruhmu datang kemari?”
“Terserah kau saja, dasar Tiang listrik. Aku mau makan dulu, aku lapar.”

Pemuda itu kembali duduk dan menilik gadis berlesung pipit yang kini asyik dengan hidangan di depannya. Tatapan mata nan tajam namun teduh, bola mata coklat eboni, hidung nan mancung serta wajah melayunya yang sejuk di pandang mata. Namun yang menarik perhatiannya adalah sebintik garis diagonal di atas alis sebelah kiri, yang cukup jelas terlihat jika diperhatikan dengan seksama.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Ternyata kau memang Chibi.” Ujar pemuda itu pelan dengan senyum terkembang. “Aku nyaris tidak mengenalimu tadi, hehehe.”
“Jadi kau sudah ingat aku? Tadi kau menyorakiku Si Upiak Sarimi, sekarang kau memanggilku Chibi? Apa julukanku begitu banyak?”
“Begitulah.”
“Sepertinya kau harus menambah minus kacamatamu itu. Begini-begini, aku ini nyaris 170 loh.”
“Hahaha.” Pemuda itu tertawa. ‘Tapi Chibi di alismu itu tidak hilang sama sekali. Dan aku selalu ingin minta maaf karena itu.’ Gumamnya sedih.
“Apa kau tidak mau makan itu? Berikan saja padaku kalau begitu.”
“A… Aku makan. Enak saja, makanan enak begini siapa juga yang menolak.”

Percakapan pun mengalir mencairkan suasana. 2 sahabat yang sudah beberapa tahun tidak berjumpa itu larut dalam suasana nostalgia dengan sesekali cekikikan mengingat tingkah bodoh mereka di masa lalu.

Pemuda itu menilik arloji-nya dan kaget saat jarum jam menunjukkan pukul 8 malam. “Sepertinya aku harus pergi dulu, ada urusan yang harus kukerjakan.”
“Sepertinya aku juga akan pergi, aku juga ada janji dengan seseorang.” Jawab si gadis.
“Baiklah, berikan ponselmu. Aku akan memberikan nomorku.”
Pemuda itu menurut.
“Ingat, namaku Desi. Bukan Chibi… atau Upiak Sarimi.” Ucapnya saat mengembalikan ponsel itu ke empunya kembali.
“Ok, dan namaku Hendra. Satu lagi, kau jangan memanggilku Tiang listrik lagi. Walaupun aku tinggi, aku tidak sekurus itu kok.” Ujarnya sembari memainkan ponselnya. “Tapi kita akan bertemu lagi kan?”
“Tentu saja. Kalau tidak, kenapa aku mau repot-repot datang kemari.” Jawab Desi dengan senyuman misteriusnya.

.

.
=== The ~ End ===

 

Kamu… Paja tu…?

Sebuah Cerpen

By : MiO Khairina

.

.

.

“Baksonya datang.” Utari bersorak riang menyambut semangkuk mie bakso yang disajikan dihadapannya. “Aku duluan ya, hehehe.” Sambungnya memanas-manasi Derry, Windy dan Rania yang ada di depannya serta Prita yang ada di sampingnya sambil menyuap bakso itu ke mulutnya tanpa menuangkan kecap, saos dan cabe yang cukup banyak ke dalamnya. Gadis itu sangat tidak suka cabe, saos dan kecap yang hanya dibubuhkan kemudian itu.
“Tidak terlalu duluan sih.” Windy melihat semangkuk mie pangsit yang dipesannya bersamaan dengan pesanan Utari itu dihidangkan tak lama setelahnya.
“Utari, apa kau serius makan bakso seperti itu, huh?” Tanya Windy sambil menuang sedikit cabe hijau ke mangkuk mie pangsit di hadapannya.
“Kenapa memang? Kau kan sudah sering melihatku makan mie bakso seperti ini kan?” Tanya Utari heran karena gadis itu biasa makan mie bakso tanpa menuangkan kecap, saos dan cabe ke dalamnya.
“Tidak ada.” Windy segera mengambil 1 sendok makan cabe hijau yang ada di depannya dan menuangkannya ke mangkuk Utari.
“Apa yang kau lakukan?” Pekik Utari kaget yang segera mengambil onggokan cabe hijau itu dari mangkuknya.
“Tidak akan pedas kok, kan hanya sedikit.” Prita segera memasukkan cabe hijau yang tadinya dikeluarkan Utari dan segera mengaduknya lalu menuangkan kecap cukup banyak ke dalamnya.
”Tambahkan ini juga biar tambah enak, hahaha.” Sambung Derry yang menuangkan sesendok makan cabe merah, saos dan cuka ke makanan Utari.
‘Apa kalian semua mau membunuhku dengan makanan ini.’ Ratap Utari dalam hati setelah melihat mie bakso favoritnya itu kini tidak lagi mengundang selera makannya.
“Cobalah. Pasti enak.” Ujar Prita riang yang dibalas Utari dengan gelengan lemah.
“Ya, kapan lagi kau mencoba mie seperti itu? Aku saja malas melihatmu makan mie bakso putih seperti itu.” Celetuk Rania sambil menyuap mie pangsit ke mulutnya.
Dengan susah payah Utari memakan makanan yang tidak lagi karuan itu. Akhirnya Utari hanya makan baksonya saja untuk mengganjal perut dan menyisakan mie-nya.
“Kenapa kau tidak menghabiskannya?” Tanya Prita seolah tidak terjadi apa-apa. “kalau kau tidak menghabiskannya, aku tidak akan mengembalikan ini.” Sambungnya enteng sambil memamerkan flash disc di tangannya lalu segera menyimpannya kembali ke saku blazer seragamnya.
“Aku… aku makan kok.” Ujar Utari dengan nada yang dipaksakan. ‘Kalau saja tidak data data yang merepotkan di flash itu, aku sudah mencekik kalian satu per satu dan melempar kalian semua ke Ngarai Sianok, dasar sial.’ Umpat Utari dalam hati.
Wendy dan Prita menciduk sedikit kuah mie bakso Utari dan Utari melihat perubahan wajah kedua temannya itu, ingin rasanya gadis itu tertawa tapi ditahannya, khawatir kalau nanti mereka menambahkan lebih banyak cairan cuka dan cabe hijau yang teronggok di hadapan gadis itu.
“Ra… rasanya lumayan enak kok.” Ujar Prita pelan lalu meneguk habis segelas air putih yang ada dihadapannya.
‘Memangnya gara-gara siapa makananku jadi seperti ini. Dasar menyebalkan.’ Umpat Utari dalam hati.
“Habiskan makanannya. Mubazir kalau dibuang.” Ucap Prita santai. “Innal mubadziriina ikhwaanash-syayathiin.” Sambungnya seperti Ustadzah ulung.
‘Kau sudah coba sendiri bagaimana rasanya, mana mungkin aku bisa menghabiskannya, jelas-jelas aku tidak suka makan dengan cabe hijau yang super pedas seperti ini, dasar bodoh.’ Utari kembali menggerutu dalam hati sambil menatap geram 4 gadis lainnya yang sengaja cari perkara dengannya itu.
“Bagaimana kalau kita bagi 5 saja?” Usul Utari yang dibalas gelengan serempak dari 4 gadis itu.
“Kami sudah punya jatah masing-masing. Kau habiskan saja. Kami akan setia menunggumu sampai makananmu habis.” Rania meyakinkan.
Utari pun memakan mie yang rasanya sangat mengerikan itu sambil menahan arimatanya karena perutnya demo besar-besaran menolak mie yang tidak karuan itu demi kembalinya flash disc itu kembali ke tangannya.
Tak lama kemudian pelayan pun datang untuk menagih makanan yang telah dipesan itu. Pemuda ceking itu kaget saat melihat semangkuk kecil cabe hijau yang teronggok di tengah meja para gadis itu dan lebih terkejut saat melihat kuah bakso di mangkuk Utari yang didominasi warna hijau.
“Cabe hijaunya diambil yang mana?” Tanya pelayan itu pelan dengan raut panik terpancar di wajahnya.
“Yang ini dan yang itu.” Windy menunjuk semangkuk kecil cabe hijau yang ada di hadapannya dan mangkuk lainnya di hadapan Utari. “Memangnya kenapa Mas?”
“Eh… tidak apa-apa.” Pelayan yang merangkap jadi kasir di kedai bakso itu buru-buru pergi setelah 5 gadis itu memberikan uangnya.

— — —

‘Perutku sakit sekali.’ Keluh Utari dalam hati dengan sesekali meremas perutnya dan meringis. ‘Kenapa bisnya lama sekali?’ Tanyanya dalam hati dengan sesekali melihat ke hulu jalan.
Empat gadis usil, yang berdiri di bibir halte, membelakangi Utari itu hanya diam dengan raut wajah yang campur aduk, bingung, cemas, khawatir dan rasa bersalah.
Utari meraih pergelangan Windy yang berdiri tepat di depannya hingga berblik menghadapnya. “Tepat janjimu… Mana flashdisc-ku?” Ucapnya pelan penuh harap.
.
.
.
Sementara itu…
“KENAPA INI MASIH ADA DI SINI?” Seorang pria paruh baya berbadan tambun bertanya penuh emosi sambil menunujuk mangkuk kecil yang dipenuhi cabe hijau itu membuat beberapa pelayan kedai mie bakso itu segera menghampirinya dengan berbagai ekspresi menghiasi wajah mereka.
“Ma… maaf boss. Tadi aku lupa mengambilnya.” Ujar pelayan yang merangkap jadi kasir itu gugup.
“Tadi aku kan sudah menyuruhmu untuk dibuang dan menggantinya dengan yang baru?? Kenapa masih ada di sini??.” Pria pemilik kedai bakso yang disapa boss itu melotot ke arah pelayan itu memuat pelayan itu gemetaran.
“Ma, maaf boss, tadi ada pelanggan yang membayar dengan uang besar dan marah-marah minta uang kembaliannya lebih cepat karena dia sedang terburu-buru. Aku jadi lupa mengambil cabe hijau ini.” Sangkal pelayan itu membeli diri. “Tapi boss, cabe hijaunya kan masih bisa dimakan kan?”
“Apa kau tidak bisa membedakan mana cabe yang sudah kadaluarsa, huh?” Pria itu mengambil mangkuk kecil itu dan kaget saat membuka tutupnya dan melihat bekas cidukan sendok di tengahnya. “Siapa yang makan cabe ini tadi?”
“Setauku hanya ada 5 orang gadis SMA yang duduk di meja ini dan salah satu mangkuk mereka ada yang menghijau, mungkin salah satu dari mereka yang memakannya.” Ujar pelayan itu sambil mencoba mengingat-ingat.
“Mudah-mudahan gadis itu tidak apa-apa ya. Repot juga kalau dia sakit karena cabe ini.” Ujar boss itu pelan yang diamini beberapa pelayan yang mengelilinginya.

***8***8***

“Kau kenapa?” Tanya Dakota, teman sekamar Utari yang baru saja pulang Les MaKul tambahan itu bingung saat melihat Utari meringkuk di kasurnya itu.
“Aku… tidak apa-apa.” Ujar Utari lemah dan membalikkan badannya membelakangi Dakota yang menghampirinya dan duduk di tepi ranjangnya.
“Tidak apa-apa bagaimana? Keringatmu banyak sekali.” Dakota segera membalikkan tubuh Utari dan menaruh telapak tangannya di kening Utari dan kaget saat merasakan keningnya sangat panas. “Kenapa kau bisa tiba-tiba sakit seperti ini? Seingatku siang tadi kau tidak apa-apa kan?”
“Aku… tidak apa-apa.” Ujar Utari sambil menggigit bibir bawahnya, keringat dingin pun makin membanjiri wajah pucatnya.
“Kita ke rumah sakit sekarang!” Ujar Dakota sambil mengalungkan lengan Utari ke pundaknya.
“Aku… tidak mau.” Utari menarik lengannya dan kembali menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Kau jangan keras kepala. Sekarang kau ikut aku, kita ke RS sekarang!!”
“Tapi…”
“Aku tidak mau mendengar alasan apapun dari mulutmu itu.” Dakota segera mengalungkan lengan Utari ke pundaknya dan membopongnya.
“AKU TIDAK MAU!” Bentak Utari. “Aku tau kau itu tidak boleh kehujanan, dan aku tidak mau kau juga sakit karena aku.”
“Lalu sekarang bagaimana?” Tanya Dakota bingung.
“Aku hanya ingin tidur saja, aku sangat lelah. Kau juga tidurlah.”
“Tapi bagaimana de…”
“…Aku lelah, aku mau istirahat dulu. Dan… jangan bertingkah yang aneh-aneh saat aku tidur.” Potong Utari pelan.
Dakota segera beranjak tanpa menghiraukan Utari dan tidak lama kemudian kembali dengan membawa sebuah handuk kecil dan mangkuk kecil berisi es batu ukuran sedang. Dakota lalu membungkus beberapa butir es batu itu dengan handuk dan meletakkannya di kening Karin. Tak lama kemudian Utari pun terlelap.
Dakota menyunggingkan sedikit senyumannya setelah hujan deras itu berhenti dan hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Gadis itu segera mengambil payung dan keluar dengan tergesa-gesa dari kos-kosannya dan pergi ke rumah bu Catherine, seorang dokter yang jaraknya 3 blok dari kos-kosannya.
Tidak lama kemudian, Utari terbangun karena perutnya yang kembali berdemo dan memaksanya untuk bergegas ke kamar mandi. Dengan langkah berat Utari berjalan perlahan sambil memegangi perutnya, namun perhatiannya teralih saat melihat pintu masuk bagian belakang kamar kos-kosan yang tidak jauh dari kamar mandi itu menganga. Utari yang hendak menutup pintu itupun kaget saat melihat seseorang yang mengenakan masker dan berpakaian hitam itu tiba-tiba muncul di hadapannya dan segera menodongkan pistol.
“Siapa kau?” Utari segera mundur dan merapat ke dinding sambil menahan rasa sakit yang makin adi di perutnya.
“Kau lupa siapa aku?” Tanyanya balik sambil melepaskan masker hitam yang tadi menutupi sebagian wajahnya yang baret karena bekas luka di wajah ovalnya.
“Kau!! Ada urusan apa kau datang kemari, huh?” Tanya Utari ketus.
“Tidak ada. Hanya mengambil milikku. Itu saja.” Jawabnya sambil menyeringai licik.
“Maksudmu?”
“Aku tau flash disc itu ada padamu. Sekarang, serahkan itu sebelum aku makin emosi!!” Ujarnya dengan nada tinggi.
“Hahaha, tidak akan pernah.” Jawabnya dengan tatapan yakin. ‘Tentu saja, karena data itu ada pada si Prita resek itu.’ Sambungnya dalam hati.
“Serahkan sekarang!!” Titahnya sambil menodongkan pistol ke arah gadis itu.
“Tidak akan. Lagipula kau tidak akan bisa menemukannya disini, hahaha.”
“Berani kau melawanku, huh?” Tanyanya emosi. “Aku tau dengan kondisimu sekarang ini, kau tidak akan menang melawanku. Lebih baik kau menyerah saja.” Titah pria bersweater hitam itu.
Seakan tidak mendengar ucapannya barusan, Utari nekat menyerang pria itu degan pisau dapur yang ada di dekatnya, hingga membuat pria itu kaget dan kalap hingga melepaskan tembakan ke arah Karin, tepat saat Dakota beserta dokter Catherine muncul di ambang pintu. Utari pun merosot dan rebah tepat di hadapan pria itu dengan darah yang mengalir deras dari tubuhnya.

***8***8***

“Utari…” Ujar bu Soffi, guru fisika yang mengajar di kelas, pagi itu.

“Utari Rahmadania.” Wanita paruh baya yang tadinya tepekur dengan buku absen di tangannya itu menilik ke bangku Utari yang kosong di baris ketiga dari depan yang bersebelahan dengan jendela.

Guru fisika itupun mengedarkan pandangannya ke seisi kelas dan mendapati bangku Dakota yang berada tepat di sebelah Utari itu juga kosong.
“Sepertinya kau dalam masalah.” Bisik Prita ke Windy yang duduk di sebelahnya, di depan bangku Utari dan Sakura sesaat setelah guru fisika mereka keluar dari kelas.
“Kenapa hanya aku? Kau juga ikut andil dalam masalah ini kan?” Tanya Windy panic.
“Tapi kau yang punya saham paling besar dalam masalah ini, kau kan yang menuangkan cabe satu sendok penuh kemarin kan?” Ujar Dona yang duduk di sisi kanan Utari.
‘Kalau benar terjadi apa-apa padanya, matilah aku.’ Gumam Windy panic. “O ya, kau sudah mengembalikan flash disc Utari kemarin, huh?” Tanya Windy mengalihkan pembicaraan.
“Belum, kenapa memangnya?” Tanya Prita heran.
“Kemarin dia menanyakannya padaku. Sekarang mana flash-nya, biar aku yang mengembalikannya.” Ujar Windy mantap.
“Tumben sekali kau mau, biasanya kau tidak pernah mau repot-repot seperti ini.” Tanya Prita sambil menatap Windy tajam.
“Kan sudah kubilang, kemarin dia menanyakannya padaku. Lagipula, apa kau mau mengembalikannya sendiri, huh?” Windy balas menatap Prita tajam membuat gadis itu terdiam.
“Serius kau mau mengembalikannya, huh? Kulihat tidak ada yang istimewa didalamnya.” Ujar Prita remeh.
“Maksudmu?”
“Aku sudah melihat isinya tadi malam, flash-nya itu tidak ada isinya.”
‘Tidak mungkin. Kalau tidak ada isinya, tidak mungkin dia sampai nekat seperti kemarin, seperti ada sesuatu di dalam flash disc 8 giga itu.’ Pikir Windy. “Apa kau sudah mengeceknya dengan benar?” Tanya Windy antusias.
“Sudah, flash-nya kosong. aku sudah mengeceknya beberapa kali.”
“Apa kau sudah me-scan-nya? Mungkin ada file yang tersembunyi di dalamnya, mungkin virus atau…”
“Tidak. Kau kan tau, laptopku tidak ada antivirus atau semacamnya.” Jawab Prita cuek.
“Lalu sekarang mana flash-nya?”
“Untuk apa?”
“Biar aku yang mengembalikannya. Pembantu di rumahnya itu kan sodaraan sama Bik Inah, pembantu di rumahku, nanti biar kusuruh Bik Inah ke rumahnya dan memberikannya langsung.”
“Hmm, okelah kalau begitu.” Prita lalu merogoh tasnya dam menyerahkan flashdisc ukuran mini itu ke Windy.

— — —

Windy kaget saat melihat isi flash milik Utari. Gadis itu heran bercampur panic saat melihat beberapa file yang sebelumnya disembunyikan oleh si empunya. Di dalamnya terdapat video rekaman mafia-mafia yang terkenal sadis, sedang melakukan pengeroyokan terhadap beberapa orang pemuda di ujung gang yang terkenal angker di kota ini. Di dalam flash itu juga ada beberapa program hacking yang bahkan Windy sendiri pun tidak mengerti sama sekali, padahal dia cukup pandai dalam hal meretas ini.
‘Untung saja si bodoh itu tidak bisa melihat isinya. Bisa repot kalau mulut embernya itu membeberkan semuanya.’ Gumamnya sambil menilik flash disc putih yang ada di tangannya.
Seketika wajah gadis yang tadinya lega itu kembali memucat dan berubah panic. ‘Kalau hari ini Utari dan Dakota tidak masuk, itu berarti…’ gumam Windy panic. Gadis itu segera menutup laptopnya dan bergegas keluar dari rumahnya. ‘Aku harus cepat sebelum terjadi hal yang lebih buruk.’

— — —

Windy berjalan dengan ragu ke kamar inap Utari sambil menatap flashdisc mini berwarna putih milik Utari yang kini ada di tangannya. Tiba-tiba gadis itu ditabrak oleh 4 orang pria berjas hitam dan 1 pria perlente, dengan blazer polkadot pink cerah dan celana dasar kuning cerah mengilat, berjalan dengan sombongnya diiringi para pria kekar nan tinggi di belakangnya. Windy yang tadinya akan memarahi pria itu akhirnya terdiam karena pria-pria berotot itu menatapnya sangar, bahkan pria yang berjalan paling belakang malah mendorongnya ke samping agar tidak menghalangi boss mereka yang berjalan di tengah itu.
Windy kembali melanjutkan langkahnya setelah melihat pria-pria berwajah garang itu menghilang di lorong RS.
“Maaf suster, kamar inap Utari dimana ya?” tanya Windy ke perawat di bagian resepsionist itu.
Suster itu hanya diam dan menilik Windy seksama. “Maaf, di sini tidak ada pasien dengan nama itu.” Ujarnya ketus dan kembali berkutat dengan computer di depannya. “kenapa semua orang selalu bertanya tentang dia padaku??” lanjutnya kesal.
“Tapi, saya dapat informasi kalau Utari dirawat di sini.” Ujar Windy meyakinkan perawat itu.
“Apa kau itu juga bagian dari mereka?” Bisik suster itu lalu menunjuk pria-pria kekar yang tadi menabraknya itu berdiri di depan sebuah kamar inap RS.
“Tidak, tidak sama sekali. Saya tidak mengenal mereka semua. Memangnya kenapa suster?”
“Tadi mereka juga menanyakan pasien dengan nama yang tadi kau sebutkan itu sambil membentak saya. Lalu saya bilang kalau di sini tidak ada pasien dengan nama itu, mereka lalu masuk ke kamar di lorong ini satu persatu untuk mencarinya.”
“Lapor saja sama satpam, biar diusir.”
“Lihat, satpam saja tidak berkutik.” Suster itu menunjuk satpam yang sudah terkapar, dilumpuhkan pria-pria kekar itu.
Windy lalu melihat Dakota melintas di hadapannya dengan terburu-buru lalu masuk ke salah satu kamar yang belum diperiksa oleh pria-pria kekar yang masih me-razia kamar RS satu per satu itu.
Windy pun menyusul Dakota dan berhenti tepat di depan pintu kamar yang dimasuki Dakota barusan. Windy pun ragu ingin masuk saat membaca papan nama di samping pintu itu. Tapi akhirnya gadis itu nekat masuk dengan membuka pintu dan melihat seseorang terbaring lemah di tengah ruangan.
“Sedang apa kau di sini?” Tanya Dakota kaget saat melihat Windy berjalan perlahan ke arahnya.
“Kenapa dia sekarang terlihat seperti itu?” Windy balik bertanya sambil menunjuk seorang brewokan yang terbaring di sebuah banker di tengah ruangan itu.
“Itu bukan urusanmu, sekarang sebaiknya kau keluar.” Dakota mendorong Windy ke pintu keluar.
“Kenapa kau mengusirku?”
“Dia jadi sakit begini karena ulahmu. Apa yang sudah kau berikan padanya hingga dia jadi seperti ini, huh??. Aku benar-benar tidak menyangka kalau kau dan anggota genk bodohmu itu sangat keterlaluan hingga membuatnya jadi seperti sekarang ini.”
“Maksudmu? Kenapa kau malah menuduhku seperti itu?”
“Aku tau kalau kau dan genk bodohmu itu seringkali keterlauan padanya. Udah tau dia itu tidak bisa makan pedas, tapi kau masih saja mengerjainya seperti itu, apalagi dengan makanan basi seperti itu.”
“Memangnya kenapa dengan makanan pedas? Apa dia alergi pedas? Tidak juga kan??” Tanya Windy remeh. “Lalu, apa maksudmu dengan makanan basi??”
“Ternyata kau itu memang tidak tau siapa Utari yang sebenarnya ya. Apa kau tau kalau kau itu sudah…”
“Ke…napa kalian itu beri…sik sekali?” Sebuah suara serak dan sangat pelan membuat 2 gadis yang sedang bertengkar di dekat banker itu terdiam seketika dan kompak mendekat ke sumber suara.
“Kenapa kau pakai janggut dan rambut palsu seperti itu?” Tanya Windy yang tersenyum geli melihat tampang Utari yang aneh dan agak mengerikan. “Seperti cowok brewokan yang baru keluar dari hutan rimba, hahaha.” Ujar Windy yang segera dibekap Dakota yang salah tingkah.
“Apa yang kau lakukan padaku? Kenapa dia menyebutku brewokan?” Utari mendelik ke Dakota yang berdiri di sebelah Windy.
“Maaf.” Dakota menyatukan 2 telapak tangannya tanda meminta maaf, dengan senyum-senyum menahan tawa karena tampang Utari yang jadi aneh karena ulahnya.
“Kau ini iseng…”
Kalimat Utari terhenti karena pria-pria bertubuh kekar mendobrak pintu masuk dan menyapu seisi ruangan.
“Siapa kalian?” Tanya Windy kaget.
“Apa kalian permah melihat dia?” Tanya lelaki sangar yang paling tinggi.
“SIAPA KALIAN? KENAPA KALIAN MENGGANGGU PASIEN DI SINI? APA KALIAN TIDAK LIHAT KALAU PASIEN DI SINI BUTUH ISTIRAHAT?” Tanya Dakota dengan nada tinggi.
“Beraninya kau berteriak padaku?” ujar lelaki cebol dengan pakaian yang norak dan jadul yang dari tadi dikawal sejumlah pria sangar itu.
Salah seorang anak buahnya lalu mendorong Dakota ke pinggir hingga terduduk di sofa di belakangnya.
“Dasar kurang ajar!!” Windy emosi lalu menendang pria kekar yang mendorong Dakota, namun pria itu bisa menangkisnya dengan mudah lalu mendorong gadis itu hingga menimpa Dakota yang masih tersungkur di sofa itu.
Utari hanya bisa diam dan terpaku di banker-nya saat si pendek dengan gaya norak itu meniliknya dengan seksama. Gadis itu mengikuti langkah pria dengan gigi tonggos itu dengan sudut matanya dengan nafas yang memburu, terlebih saat anak buahnya yang kekar itu mengepungnya.
“Licin juga si bodoh itu, masih bisa kabur dengan kondisi seperti itu.” Ujar boss norak itu kesal lalu keluar dari kamar RS disusul 4 anak buahnya itu.
“Ka…lian tidak apa-apa?” Tanya Utari pelan dengan nafas lega.
“Aku dan si bodoh ini tidak apa-apa.” Dakota berdiri setelah mendorong Windy yang meindihnya. “Sekarang sebaiknya kau pulang dan jangan pernah kemari lagi, dasar tukang rusuh.”
Windy hanya cemberut kesal dan menatap Dakota berang. “Beraninya kau menyebutku begitu?”
“Ya, dan sekarang kau sebaiknya kau keluar sebelum aku naik darah.” Dakota mendorong Windy hingga keluar dan menutup pintu dari dalam sebelum Windy sempat berkata apapun.
Windy mendengus kesal dan menendang pintu kamar RS beberapa kali hingga diusir keluar dari RS. Gadis itu lalu merogoh saku bajunya dan menatap benda putih yang jadi sumber masalah itu.
‘Mungkin dengan ini aku bisa menebus kesalahanku padamu, maaf ya Sob.’ Gumam Windy mantap.

===fin===

Hidden Spy

Sebuah Cerpen

By : MiO Khairina

.

.

.

“Bagaimana kalau besok kita pergi ke Mall, refreshing sekaligus cuci mata, besok kita libur kan?” saran Tania.

“Boleh juga.” Ujar Sonya cuek tanpa mengalihkan perhatiannya dari novel yang tengah di bacanya.

“Gimana yang lainnya?? Setuju??” Tanya Tania dengan suara melengking membuat 4 orang gadis yang berada di dekatnya itu menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

“Aku setuju saja.” Ujar Karin pelan tanpa menoleh ke Tania yang berkacak pinggang di hadapannya. Gadis itu masih sibuk dengan PSP yang tengah dimainkannya.

“Bagaimana denganmu, Alexa?” Tanya Tania yang melihat Alexa yang baru masuk ke kamar kost mereka yang diisi oleh 6 orang gadis itu dan rebahan di kasurnya.

Alexa bangun dari tidurnya dan berpikir sejenak “Boleh juga, aku juga mau membeli edisi lanjutan dari komik ini.” Sambungnya sambil memamerkan komik yang baru saja diambil dari samping bantalnya.

“Okelah kalau begitu. Kita besok pergi ke Mall, sekalian untuk cuci mata, hihihi.” Ujar Tania semangat sambil menatap seorang gadis yang duduk di meja belajar dan sibuk dengan laptop di hadapannya itu dengan tatapan sinis.

“Kau pergi besok, Layla?” Tanya Karin yang kini berdiri di belakang Layla sambil menatap layar laptop di depannya.

“Malas.” Ucap Layla datar.

“Aku juga tidak jadi pergi kalau begitu.” Ujar Karin cuek tanpa mengalihkan perhatiannya dari game portable ditangannya itu.

“Baguslah kalau begitu. Temani aku di sini, ok?” Ajak Layla sambil menoleh ke Karin yang duduk di sebelahnya.

“Oke lah kalau begitu.” Ujar Karin sambil mengacungkan jempol kanannya ke Layla. Tania menatap Layla sekilas dengan senyuman licik tersungging dari sudut bibirnya.

***___***

“Ternyata kau sudah berubah ya. Aku tidak menyangka kau bisa berbuat seperti itu?” Ujar Alexa yang masuk ke kamar lalu duduk di kasurnya sambil menatap Layla sinis.

“Maksudmu?”

“Kau jangan pura-pura lagi. Aku sudah tau kebusukanmu. Dasar muka dua, di luarnya baik tapi di dalam hatinya busuk.”

“Aku tidak mengerti maksudmu? Apa yang kau bicarakan ini?”

“Kau jangan beralasan lagi. Sebenarnya kau yang mengambilnya, ya kan? Mengaku sajalah. Aku tidak akan mempermasalahkannya lagi jika kau mengaku.”

“Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraanmu ini. Sebenarnya apa maksudmu?”

“Halah, dasar muka dua. Mengaku saja, sebenarnya kau kan yang mengambil ponsel Sonya kemarin, ya kan?”

“Aku tidak pernah mengambilnya. Asal kau tau, aku bisa memiliki berlusin ponsel seperti itu jika aku mau tanpa harus mencurinya.” Ujar Layla datar seolah tidak terpengaruh dengan ucapan sadis Alexa barusan.

“Apa kau percaya begitu saja dengan ucapannya?? Bisa jadi dia menyembunyikannya di suatu tempat lalu diambil lagi setelah keadaannya aman, ya kan?” Tania tiba-tiba masuk ke kamar kos mereka dan memojokkan Layla. “Kemarin kan hanya ada dia di kamar ini!!” Tandasnya.

“Lalu?? Apa kau mau menggeledahku, begitu? Silahkan saja.” Tanya Layla dengan nada menantang.

“Kami pasti tidak akan menemukkannya di sini. Tidak mungkin kau mau mengambil resiko menyimpan barang curianmu itu di tempat yang mungkin untuk digeledah.” Ujar Tania sombong.

“Kenapa kau bisa yakin kalau kau pasti tidak akan menemukannya di sini?? Apa jangan-jangan kau ada hubungannya dengan ini semua?” Layla balik bertanya membuat Tania terdiam seketika dan menghindari tatapan tajam Layla yang berdiri di dahapannya.

“Aku tidak peduli dengan alasan konyol yang kalian tuduhkan padaku, yang jelas aku tidak pernah melakukan hal-hal yang kalian tuduhkan itu.” Layla keluar dari kamar dengan santai seolah tidak ada peristiwa apapun yang terjadi. “Satu lagi, jika kalian tetap ingin menggeledahku, ambil saja kunci lemariku di dalam tas ranselku itu ya? Jangan lupa menaruhnya di tempatnya semula, ok?” Sambung Layla yang kembali ke kamar dan berdiri di depan pintu lalu keluar lagi dengan santai dari kamar kost-nya.

***___***

Layla masuk ke kamar kost-nya untuk mengambil flash disc Karin yang ketinggalan di meja belajarnya dan mendapati Tania yang sedang menggeledah lemari kecil milik Karin. “Ternyata memang kau dalang di balik ini semua. Apa kau tidak puas hanya dengan mencuri ponsel Alexa, huh?”

Tania yang kaget segera menyelipkan sesuatu di balik seragam almamaternya dengan cepat. “Kau jangan asal menuduh ya!! Kau tidak punya bukti, lagipula siapa yang akan percaya padamu, huh?? Dasar bocah miskin.” Ujar Tania pongah sambil menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung.

“Itu lebih baik daripada kau yang tidak mau berdamai dengan kenyataan, tidak mampu membeli ini itu tapi berlagak seperti orang borjuis.” Layla berdiri di ambang pintu sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Terserah kau.”

“Kembalikan dompet itu ke tempatnya semula.” Ujar Layla pelan sambil menahan Tania yang hendak keluar hingga dompet berwarna pink cerah seukuran diary itu jatuh dari seragam kampusnya itu.

“Kau tidak usah ikut campur urusanku, bocah miskin. Sekarang kau lepaskan tanganku.”

“Tidak sebelum kau mengembalikan dompet yang kau sembunyikan ini kembali ke tempatnya semula.” Layla mengambil dompet yang jatuh tepat di depannya itu.

“Kau berani melawan sekarang ya!” Ujar Tania yang emosi.

“Aku tidak mau kau berbuat lebih nekat dari ini, kemarin kau menuduhku mengambil ponsel itu padahal kau lah yang mengambilnya. Dan kau lihat sekarang, tidak ada orang yang percaya padaku lagi, mereka semua menuduhku sebagai pencuri, kemanapun aku pergi mereka menatapku sinis bahkan menjauh dariku, tapi tidak masalah bagiku, toh sejak dulu memang tidak ada yang benar-benar percaya padaku dan peduli padaku. Akupun tidak mau memperpanjang urusan ini, untuk kali ini aku menganggap semua ini selesai, aku tidak mau masalah ini berlarut-larut dan kau jadi terlibat masalah yang lebih besar.” Ujar Layla lalu berjalan perlahan ke lemari pakaian Karin dan menaruh dompet itu ke dalam lemari pakaian Karin yang saat itu masih menganga lalu menutupnya kembali. Layla lalu berjalan dengan santai ke meja belajarnya tanpa menghiraukan tatapan bengis Tania.

“Sepertinya kau memang ingin mencari masalah denganku. Dasar bocah miskin tidak berguna, apa kau tidak tahu siapa aku?” Ucap Tania tepat di telinga Layla dan berjalan ke pintu lalu mengunci pintunya dari dalam.

Layla pun berbalik dan menatap Tania geram sambil berkacak pinggang. “Dengar, aku tidak tahu siapa kau sebenarnya dan akupun juga tidak peduli siapa kau. Lagipula aku tidak pernah takut padamu, dasar tidak tau diri.” Sambungnya dan mengambil flash disc di laci meja belajarnya.

“Begitu ya? Baguslah kalau begitu.” Bisik Tania yang mendekap Layla dari belakang sambil menodongkan pisau cutter usang dan berkarat yang sudah dilapisi dengan racun dan menggores lengan kanan Layla cukup dalam.

“Apa yang kau lakukan, huh??” Layla segera berdiri dan menjauh dari Tania yang menyeringai puas ke arahnya lalu duduk santai di kursi yang diduduki Layla barusan. “Apa kau sidah gila?? Nekat sekali kau!!” Ujarnya setengah teriak dan berjalan cepat menuju pintu keluar.

“Kau mau kemana?” Tania segera bangkit dari duduknya dan dengan sigap menodongkan pisau cutter berkarat itu dari belakang, tepat di leher Layla membuat gadis itu terdiam di tempat sebelum sempat memutar kenop pintunya. Tania lalu mencabut anak kunci yang masih menancap dan memasukkannya ke dalam kantong bajunya.

“Kau jangan nekat!!” Bisik Layla dengan nafas memburu. “Sebaiknya kau hentikan perbuatan konyolmu ini sebelum orang lain tau dan kau jadi terlibat masalah yang le….”

“ASSALAMU’ALAIKUM.”

Karin dengan suara melengkingnya itu masuk ke rumah lewat pintu depan, tepat di samping kamar kost mereka membuat Tania segera membekap mulut Layla. “Kok pintunya tidak bisa dibuka sih? Ada orang di dalam??” Tanya Karin heran saat memutar kenop pintu yang dikunci dari dalam oleh Tania itu.

“Tunggu sebentar, aku lagi siap-siap nih.” Teriak Tania dari dalam sambil membungkam mulut Layla makin kuat.

“Kau jangan pernah macam-macam denganku ya atau kau tanggung sendiri akibatnya, kau mengerti?” Bisik Tania pelan lalu kembali menggores pergelangan tangan kanan Layla dan mendorong Layla hingga jatuh ke tumpukan selimut di sudut ruangan lalu keluar dari kamar dengan tenang seolah tidak terjadi apapun.

“Kenapa kau lama sekali? Aku harus cepat ini, paper untuk presentasiku hari ini ketinggalan dan aku tidak mau telat balik ke kelas.” Ujar Karin saat berpapasan dengan Tania yang berlalu begitu saja tanpa menghiraukan celotehan Karin barusan.

“Apa yang kalu lakukan di sana?? Apa kau tidak ada jadwal kuliah hari ini?” Tanya Karin yang sekilas melihat Layla yang berusaha keluar dari tumpukan selimut yang menimpanya.

“Ya, tapi sebentar lagi. Aku sedang membereskan ini.” Jawab Layla yang masih sibuk membereskan bantal dan selimut yang berserakan.

“Aneh sekali, rasanya tadi aku sudah membereskannya, kenapa sekarang berserakan lagi? Apa kau tadi lagi main perang bantal dengan Tania ya??” Tanya Karin heran melihat Layla yang masih membereskan tumpukan selimut di sudut ruangan itu.

“Begitulah, hahaha.” Ujar Layla pendek yang menyernyit menahan perih di lengannya itu. Keringat dingin pun mulai membasahi wajahnya.

“Tumben se…” kalimat Karin terhenti karena kaget saat melihat darah yang tercecer di beberapa seprai dan selimut yang dilipat asal-asalan itu. Karin segera menyingkirkan seprai itu dan terbelalak saat melihat lengan Karin yang menganga. “Kau kenapa?” pekiknya kaget dan meraih pergelangan tangan Layla.

“Aku tidak apa-apa. Kau pergilah, nanti kau telat.” Ujar Layla pelan sambil menjauhkan tangannya dari Karin dan kembali melipat helaian selimut yang berserakan.

“Tapi kenapa kau bisa…” Karin terdiam karena Layla yang tiba-tiba terkulai lemas dan hampir saja berdebam ke lantai jika Karin tidak memegangi tubuhnya. Karin pun menaruh kepala Layla di pangkuannya menepuk wajah gadis itu pelan.

“Kau ha…rus berhati-hati, dia itu ber…bahaya dan sangat li…cik.” Ucap Layla terbata.

“Siapa??” Tanya Karin panik namun Layla tidak tidak menjawab dan akhirnya menutup matanya pelan.

***___***

“Satu hal yang bisa kupahami hari ini. kau mau tau?? Aku sangat menyesal karena tidak pernah mendengarkan ucapan Layla tentang tingkahmu belakangan ini dan percaya sepenuhnya kalau kau itu adalah temanku. Aku tidak menyangka kau bisa melakukan hal seperti ini.” Ujar Karin sambil memegangi lengannya yang kini menganga karena sabetan cutter andalan Tania barusan.

“Aku tidak pernah meminta kau untuk menganggapku sebagai temanmu. Dulu memang kau kuanggap sebagai temanmu, tapi sekarang tidak lagi. Kau sudah tidak berguna lagi bagiku. Sekarang kau serahkan uang itu.” Titah Tania yang kali ini mengacungkan pisau ukuran sedang ke arah Karin.

“Tidak akan, aku tidak akan membiarkanmu berbuat lebih dari ini. Lagipula ini bukan uang milikku, anak-anak kampus sudah menyumbang untuk membeli keperluan untuk acara amal minggu depan, kau tidak berhak mengambilnya sama sekali.”

“Apa kau tidak takut mati, huh?”

“Aku tidak akan memberikannya padamu. Lebih baik sekarang kau pergi saja sebelum ada orang yang memergokimu melakukan hal ini.”

“Hahaha. Baik sekali kau padaku, huh? Aku jadi tersanjung.” Tania mendekati Karin sambil memperlihatkan seringaian liciknya. “Sayangnya aku tidak peduli apakah orang lain akan melihatku membunuhmu disini malam ini. Lagipula tidak ada temanmu Layla yang biasanya jadi sok pahlawan penyelamatmu kali ini, hahaha.”

“Kau tidak mungkin melakukan hal nekat kan?” Karin mundur perlahan menjauhi Tania yang makin mendekat ke arahnya namun langkahnya terhenti karena tembok di belakangnya. Gadis itu hanya memandang pasrah sosok Tania yang menyeringai ke arahnya.

“Kau tau, disini sangat sepi, jarang sekali ada orang yang lewat kawasan ini. Aku bersyukur karena cerita konyol tentang hantu di sekitar sini sangat di percaya masyarakat.” Tania berucap pelan tepat di telinga Karin dan memeluknya erat. “Jadi kau bisa tidur dengan tenang tanpa ada yang mengganggu.” Lanjutnya sambil menyeringai.

Tania mempererat pelukannya dan menusukkan pisau yang di pegangnya itu tepat di perut Karin. Gadis itupun merosot pelan dan tersungkur di hadapan Tania dengan pisau yang masih menancap di perutnya.

“Ternyata aku… salah besar karena percaya kalau kau… adalah Tania yang polos dan ramah seperti… yang kukenal dulu.” Ucap Karin pelan dan menatap Tania nanar.

“Makanya jadi orang itu jangan terlalu lugu dan hanya terpaku dengan masa lalu.” Tania mencabut pisau di perut Karin kasar membuat darah mengucur deras dari perutnya.

“Karin!!” Layla dengan langkahnya yang terseok-seok segera menghampiri Karin yang terbaring lemas dan meletakkan kepala Layla di pangkuannya. “Dasar bodoh, sudah kubilang jangan pergi sendirian, kenapa kau nekat sih?” Tanya Layla yang masih mengenakan pakaian RS itu sambil menangis sesenggukan.

“Ter…nyata aku me…mang tidak berba…kat men…jadi pahlawan ke…siangan ya.” Ujar Karin pelan sambil tersenyum.

“Kenapa kau ada di sini?” Tanya Tania panic dan mengacungkan pisau tepat di leher Layla.

“Memangnya kenapa? Apa kau juga akan membunuhku, huh?” Tanya Layla yang mendongak dan berujar lantang.

“Kuakui kau memang hebat, masih bisa hidup dan berdiri di depanku seperti ini.” Ucap Tania takjub. “Padahal biasanya cutter beracun itu tidak pernah meloloskan satu ekor tikus pun untuk hidup.”

“Kau jangan selalu mengandalkan senjata dan menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan orang lain, mungkin kau bisa berhasil menjatuhkanku dengan menuduhku berbuat ini dan itu, tapi kau jangan lupa kalau di dunia ini masih ada orang lain yang lebih kuat dariku.” Ujar Layla lalu berdiri tegap dan menatap Tania tajam membuat gadis itu mundur beberapa langkah. “Apa kau akan selamanya seperti ini??” Sambungnya dan mencoba mengambil alih senjata yang dipegang Tania.

Tania yang kalap dan panik itu berusaha mempertahankan pisau yang hampir lepas dari tangannya dan tanpa sadar menghunuskannya ke perut Layla membuat gadis itu terdiam terpana melihat senjata tajam yang tadi mengenai Karin itu pun kembali memakan korban.

“Aku… tidak menyangka kau bisa melakukan ini padaku. Aku sangat berharap kau bisa berubah setelah… semua yang sudah kau lakukan padaku.” Ujar Layla pelan dengan tatapan sedih.

“Itu bukan salahku. Kau yang cari perkara denganku. Aku tidak salah, aku tidak memulainya, kau yang salah.” Racau Tania yang terpana melihat 2 orang yang terluka parah dan terkapar akibat ulahnya.

“Aku tidak menyangka kau akan berbuat nekat seperti ini.” Ucap seorang pemuda di belakang Tania.

Tania pun berbalik dan kaget saat melihat Takeshi, mahasiswa sefakultas dengannya yang juga anak klub basket dengan wajahnya yang indo Jepang itu berdiri tak jauh darinya itu mendelik tajam dan kaget saat melihat Tania yang masih memegang senjata yang sudah memakan 2 orang korban itu.

“Aku… tidak melakukan apapun, mereka yang mulai.” Ucap Tania membela diri.

“Kau tidak bisa mengelak lagi, sekarang menyerahlah.” Titah Takeshi.

Tania berbalik hendak melarikan diri namun para mahasiswa mulai berdatangan dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya, kaget, marah dan kesal. Bahkan Ahmad, pemuda yang menjabat sebagai ketua DEMA yang beberapa waktu ini dekat dengan gadis itu juga menatapnya benci. Tania pun terpana dan akhirnya pasrah saat polisi segera meringkusnya dan menggiringnya masuk mobil polisi. Gadis itu hanya membisu saat teman sekelasnya itu mencaci maki dan bahkan ada yang melemparinya dengan batu dan beberapa lainnnya ada yang melemparinya dengan telur busuk hingga tepat mengenai kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Tania hanya membisu saat melihat Karin dan Layla yang pingsan diangkut dengan ambulans menuju RS.

***___***

Seorang gadis berpakaian RS terduduk terdiam dan menatap pasien yang terbaring lemah di hadapannya. Raut penyesalan terpancar jelas dari wajah pucat dan lelahnya. Sudah beberapa hari gadis itu menanti pasien yang terbaring itu bangun dari tidur panjangnya.

“Kau istirahatlah dulu. Kondisimu itu belum pulih. Biar Ibu yang menungguinya di sini.” Seorang wanita paruh baya menepuk punggung gadis itu pelan.

“Kalau saja aku tidak ceroboh dan sok berani, mungkin dia tidak akan terbaring seperti ini.” Ujar gadis itu pelan sambil menatap sepupu sekaligus sahabat karibnya itu nanar.

“Kau jangan menyalahkan dirimu seperti ini. Kalau dia mendengarmu, mungkin dia akan marah besar padamu.”

“Itu jauh lebih baik daripada dia diam dan hanya menutup matanya seperti ini.” Ucap gadis itu sambil berurai airmata. “Kalau saja aku mendengarkan semua ucapannya dari awal, dia tidak mungkin nekat menghadapi semuanya sendirian.”

“Karin, berhenti menyalahkan dirimu seperti ini!!” Yusra, wanita paruh baya, Ibu kandung gadis yang terbaring itu berucap pelan dan merangkul ponakannya penuh sayang.

“Tapi bu, aku…”

“Kau me…mang selalu me…repotkan. Da…sar payah.” Ujar Layla terbata-bata.

“Kau kembali!!” Karin segera memeluk sahabatnya erat.

“Sa…kit. Men…jauhlah da…riku.” Omel Layla sambil tersenyum simpul.

“Tidak bisakah kau bicara lembut padaku, huh?” Karin berkacak pinggang dan pasang muka sok emosi.

“O ya, bagaimana dengan Tania?” Tanya Layla pelan membuat Karin dan Yusra terdiam.

“Dia…” Karin tergagap dan menatap Layla dan Yusra bergantian.

“…Dia sudah mendapat hukuman yang setimpal. Kau tidak usah memikirkannya lagi, nak.” Potong Yusra ketus. “Dan sebaiknya dia itu segera masuk ke neraka karena perbuatannya yang sangat kurang ajar itu.”

“Ibu tidak boleh bicara seperti itu.” Ujar Layla pelan.

“Ibu sangat berterima kasih pada orang yang menabraknya itu, kalau anak itu dibiarkan hidup, di kemudian hari dia akan lebih merepotkan.”

“Maksud Ibu?” Tanya Layla.

“Dia berusaha kabur saat polisi akan membawanya, dia berontak dan berlari dengan kencang menjauh dari polisi. Tapi sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya saat dia akan menyeberang dan akhirnya dia tewas ditempat.” Terang Yusra dengan nada agak emosi.

Karin dan Layla pun membisu dan larut dalam memory mereka masing saat masih bersama dengan Tania yang bahkan setelah kematiannya itu masih meninggalkan berbagai masalah untuk keluarga dan karib kerabatnya.

“Tapi setidaknya kalian berdua sudah aman dan tidak lagi berurusan dengan hal-hal yang merepotkan seperti itu.” Ujar Yumna lega.

***___***

Beberapa hari setelahnya Karin dan Layla pun diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan kembali sibuk dengan aktifitas perkuliahan seperti biasanya. Karin menoleh ke bangku kosong yang biasa diduduki Tania dulu dan sesaat dia tidak percaya kalau gadis yang dianggapnya teman itu bisa melakukan hal yang nekat seperti itu namun kemudian dia lega karena Tania tidak akan mengganggunya dan Layla hingga senyuman tipis pun terbentuk dari bibir mungilnya.

Berbeda dengan Layla, gadis itu merasa kalau ada yang mengikutinya dan Karin semenjak dia kembali ke kampus beberapa waktu lalu. Gadis itu sengaja mendiamkan hal ini karena mengganggap itu hanya perasaan takut dan trauma karena peristiwa yang dialaminya bersama Karin waktu itu.

Namun firasat Layla tidak sepenuhnya benar dan salah, nyatanya memang ada seseorang yang selalu mengintai dua gadis itu dan menyunggingkan senyuman liciknya dengan segudang rencana jahat tersusun di benaknya dan menanti waktu yang tepat untuk melakukannya.

“Tania, kau harus berterima kasih padaku karena dendammu akan segera kubalaskan.” Ujarnya pelan setelah melihat Karin dan Tania yang bercanda riang dengan teropong peninggalan Tania yang setia bersamanya itu.

*** The ~ End ***

Expectation

hai readers, I’m come back again with a new story, hehehe….

Hope you enjoy it. ^_^

.

.

.

STORY BEGIN…

Deru mesin memekakkan telinga, kendaraan roda empat dan roda dua hilir mudik melintas di depan seorang gadis yang tengah dilanda bosan yang amat sangat. sesekali alis matanya bertaut melihat perangai aneh orang-orang yang lewat di depannya. Matanya meneliti dengan seksama setiap orang yang lewat di depannya atau kendaraan yang melambat di hadapannya, berharap orang yang ditunggunya itu akan datang dan membawa pergi dari tempat yang ramai dan sangat berisik ini.

Perhatian gadis itu teralih setelah melihat sekelompok orang merapat mengelilingi sesuatu, tak jauh dari tempatnya duduk saat ini. Gadis itupun menghampiri kerumunan dan sedikit berjinjit, penasaran dengan apa yang terjadi dan kaget saat melihat 2 pemuda dan seorang gadis sedang perang mulut di depan sebuah minimarket. Gadis yang tadinya penasaran dengan kerumunan itu akhirnya menjauh dari kerumunan setelah melihat 3 orang yang sangat dikenalnya itu adu mulut di tengah keramaian. ‘Sebaiknya aku pergi dari sini sebelum mereka melihatku. Malu banget kalo sampai mereka manggil gue di keramaian ini, norak banget. Mumpung mereka tidak melihatku.’ Gumamnya sambil beringsut perlahan menjauhi 3 teman sebayanya itu.

“Viona, akhirnya kami menemukanmu, maaf kami terlambat.” ujar salah seorang pemuda berwajah Melayu yang menjadi biang keributan itu setelah melihat gadis yang mundur perlahan itu membuat banyak pasang mata mengarah padanya.

“Apa kau mengenal mereka semua?” Tanya seorang bapak yang berdiri di samping gadis yang disapa Viona itu.

“A…aku tidak mengenal mereka semua. Mereka pasti salah orang.” Jawab gadis itu gelagapan.

“Kau viona kan?” Tanya pemuda itu bingung.

“Ha…ha, kau pasti salah orang. Aku bukan viona.” Sangkal gadis itu sambil melangkah mundur menjauhi pemuda itu.

“Kau mau kemana?” Gadis yang tadi ikut perang mulut dengan 2 pemuda itu memegang tangan viona dan menariknya ke tempat 2 pemuda itu berdiri. “Kami sudah capek berkeliling mencarimu kemana-mana.” Sambungnya sambil berkacak pinggang.

“Sebaiknya kau bawa mereka menjauh dari sini, dasar biang rusuh.” Ujar seorang pria 50-an dengan raut kesal.

“Kupikir ada masalah apa, ternyata hanya sekumpulan anak bau kencur yang kesasar, buang-buang waktu saja.” Ibu-ibu yang berdiri tepat di belakang viona itu mengomel dan berlalu meninggalkan viona dan 3 temannya yang menatap ibu itu bingung.

Kerumunan pun mulai berkurang dan viona segera menyeret 3 sahabatnya yang datang dari desa itu pulang ke rumah gadis itu tanpa menghiraukan pertanyaan dan omelan teman sekampungnya itu.

 

***   ***   ***

 

“Kenapa kalian semua berpenampilan seperti ini? Apa kalian semua sudah kehilangan selera fashion, huh??” Tanya viona heran melihat 3 sahabatnya itu mengenakan baju tahun 80-an itu.

“Memangnya kenapa? Bukannya disini lagi trend model pakaian tahun 80-an?” Tanya Fanny yang berdiri di samping viona sambil menyampirkan tangannya ke pundak gadis itu.

“Siapa bilang? Memang sih, sekarang lagi trend baju 80-an tapi gak jadul banget kayak gini, harus di mix and match donk!!”

Bahasa lo selangit, lo sendiri kenapa pakai baju kayak gini??” tanya Abdul sambil menarik sedikit lengan baju viona. “ini model 80-an juga kan?”

“Memang. Tapi harus dipadankan biar gak terkesan jadul.”

“Sok tau lo!!” sanggal Ben sambil menatap viona sinis.

“Wah, lo ngeremehin gue nih. Dasar lo.” Ujar viona sewot dan memukul kepala Ben pelan. “entar deh gue tunjukin gimana trend fashion disini.” Sambungnya bangga. “o ya, ngomong-ngomong kalian ngapain datang mendadak kemari??”

“Kami mo sekolah disini. Sekolah kami yang lama digusur, katanya mo dibangun pabrik disana. Jadinya kami pindah kemari.” Terang Abdul.

“Kenapa harus disini? Tempat lain kan banyak??”

“Karena orangtuamu yang mengajak kami semua pindah kemari, tak lama setelah sekolah kami diruntuhkan sebulan lalu.” ucap fanny riang.

“Benarkah??” tanya viona tidak percaya. “lalu kalian semua tinggal dimana??”

“Disini, hehehe…” ujar 3 remaja itu serentak.

“Kalian jangan bercanda. Kalau Fanny tinggal disini sih, itu wajar. Tapi kalian berdua?” Tanya viona sambil menatap 2 pemuda itu tajam.

“Kami akan tinggal disini juga. Ibu dan ayahmu menyuruh kami untuk tinggal di rumah ini, beliau pun sudah meyediakan kamar untuk kami. Ibumu bilang kalau kamar kami di bawah dan kamar para gadis diatas.” terang abdul.

‘Masalah nih, kayaknya gue harus bersabar lebih lama nih buat dapat uang saku lagi.’ Gumam viona sambil menatap nanar ketiga sohibnya dari kecil itu.

 

***   ***   ***

 

Dua gadis cantik dan dua pemuda tampan berjalan dengan santai menuju ke sekolah mereka. Empat remaja itu mengenakan kacamata hitam yang membuat mereka menkadi pusat perhatian para siswa yang ada di sekitar mereka.

Namun…

 

BRUJUK!!

pemuda tampan yang berjalan paling depan itu jatuh karena menginjak kantong kresek yang tercecer di lantai yang agak becek karena air hujan yang sedikit menggenang dibawahnya. Tiga orang yang ada di belakangnya pun kaget dan segera membantunya berdiri. Para siswa yang tadinya kagum melihat mereka itupun tertawa keras membuat 4 remaja itu segera kabur menyelamatkan diri sebelum para siswa itu mengenali mereka.

 

“Dasar bodoh, kenapa kau bisa jatuh disana sih?? Untung kita belum melepas kacamata ini, kalau tidak pasti bakal malu banget!!” Ujar Viona sambil menatap Abdul yang meringis pelan sambil memegangi lututnya yang sedikit membiru karena membentur lantai saat jatuh tadi.

“Kenapa kau jadi marah padaku?? Aku juga tidak tau kenapa kantong kresek itu ada disana, kalau aku tau pasti tidak akan kuinjak.” Ujar Abdul membela diri.

“Seharusnya kau tidak memberikan kacamata hitam itu padanya, jadi dia tidak jatuh seperti tadi.” Ujar Fanny sambil mengompres memar di lutut Abdul.

“kalau seperti ini terus, sebaiknya kau tidak usah dekat-dekat denganku, aku tidak mau kau berbuat ulah lagi seperti tadi. Kalau saja kau tidak memaksa  tuk memakai kacamata ini, kau tidak akan buat malu seperti tadi.” Titah Viona ketus dan melempar kacamata hitamnya sembarangan.

“Kau malu berteman dengan anak kampung seperti kami?” Abdul menatap Viona kesal.

“bukan itu maksudku. Aku hanya…”

“…Kau tidak usah banyak alasan. Aku sudah tau apa yang ada di pikiranmu itu.” Fanny yang tadinya duduk di sebelah Abdul itu berdiri dan menatap Viona berang. “Lebih baik kau sekarang pergi dari dari sini dan bergabung dengan genk gaulmu itu.” lanjutnya ketus dan menyeret 2 pemuda itu menjauh dari Viona.

“Hhhhh… salah paham lagi nih. Dasar bodoh, sensitive banget jadi orang, dasar payah.” Umpat Viona.

“Ternyata mereka temanmu toh. Gembel itu memang berteman dengan gembel, hahaha.” Cristie bersama 3 gadis jejongosnya masuk ke kelas. Cristie menabrak Viona dari belakang dan berdiri tepat di depan gadis itu.

“Lalu kenapa? Masalah untukmu, huh?” Tanya Viona sinis dan menguak 4 gadis yang berdiri mengelilinginya itu.

“Aku belum selesai, dasar kau tidak tau malu, apa kau tidak tau siapa aku??.” Cristie menarik kerah seragam Viona. “Makin lama kau makin melunjak ya!!” Cristie lalu mendorong Viona ke belakang hingga jatuh terduduk.

“Terserah apa katamu saja. Aku tidak peduli.” Viona kembali berdiri dan merapikan seragamnya yang berantakan lalu keluar dari kelasnya.

“Kau akan menyesal karena mengacuhkanku seperti sekarang ini, kau ingat itu.” Teriak Cristie lantang. Viona pun berhenti sesaat dan tersenyum sinis sebelum melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

 

 

***   ***   ***

 

“Kalian mau kemana?” Suryani, Ibu Viona bingung melihat seorang gadis dan 2 pemuda berjalan perlahan keluar dari rumahnya sambil menenteng semua barang-barang mereka. “Jangan bilang kalian mau keluar dari sini?” Tanya Suryani dengan nada ketus.

3 remaja itu terdiam dan mengangguk pelan lalu menunduk. “Maaf bu, kami merepotkan Ibu.” Ujar Fanny pelan.

Suryani segera memanggil pembantu rumahnya dan menyuruhnya menaruh kembali semua tas itu ke kamar mereka masing-masing tanpa menghiraukan tatapan bingung si empunya. Suryani pun memanggil Viona yang sedang asyik menonton drama yang ditayangkan di TV dan menyuruhnya berkumpul dengan 3 sahabatnya itu di ruang tengah. Tak lama kemudian beberapa orang pembantu di rumah itu membawa peralatan bersih-bersih dan menaruhnya di depan 4 anak muda itu.

“Sekarang kalian semua pergi ke gudang belakang dan bersihkan.” Titah suryani tegas.

“Bibi kan ada Ma, lagipula kenapa harus sekarang? Episode terakhir tuh Ma” Tanya Viona malas dan menunjuk TV di ruang keluarga.

“Mama tidak menerima alasan apapun, sekarang kalian segera pergi ke gudang itu dan cepat bersihkan sebelum hukuman kalian bertambah.”

“Tapi apa salahku? Kenapa aku harus melakukannya?” Tanya Viona ngotot.

“Kau jangan banyak membantah. Lagipula sepertinya kau yang punya andil besar dalam masalah ini sampai-sampai teman-temanmu berniat pergi dari rumah ini.” Ujar Suryani enteng. “Sekarang kalian semua kerjakan itu… dan ingat!! Gudang itu harus bersih sebelum Ayah kalian pulang sore nanti, atau hukuman kalian akan ditambah olehnya kalau beliau tau tingkah kalian yang kekanakan seperti ini.”

4 remaja itu akhirnya hanya mengangguk pasrah dan mengambil peralatan mereka masing-masing lalu membersihkan gudang itu dalam diam sampai Abdul memulai aksinya dengan mengayun-ayunkan kain pel ke kepala Ben hingga pemuda itu terpancing dan mengejarnya dengan sapu yang di sedang pegangnya. Fanny yang melihat 2 pemuda itu berkejaran pun tertawa dan akhirnya terpancing setelah Abdul dan Ben terus mengganggunya hingga bermain kejar-kejaran dengan 2 pemuda itu.

“Sebaiknya kalian bersihkan semua ini dengan cepat, aku tidak mau penderitaanku hari ini bertambah gara-gara kalian.” Ujar Viona dingin.

“KAU!!” Fanny segera menghampiri Viona dan mencengkeram lengan gadis itu hingga berbalik dan menghadap ke arahnya. “Memangnya gara-gara siapa kami jadi harus mengerjakan ini semua, huh?” Tanyanya geram.

“Kau jangan seenaknya menuduhku ya!” Viona menepis tangan Fanny dan menatapnya geram. “Kau sendiri yang yang buat ulah, tenteng-tenteng tas segala sampai kita semua dihukum di tempat ini.” Ujarnya emosi.

“KAU PIKIR KAMI MASIH MAU TINGGAL DI SINI SETELAH APA YANG KAU UCAPKAN TADI DI SEKOLAH, HUH?” Tanya Fanny dengan nada tinggi.

“Ternyata kau tidak berubah ya!! Masih saja berpikiran buruk tentangku.” Jawab Viona dengan tatapan kesalnya. “KAU PIKIR AKU SENANG DENGAN INI SEMUA, HUH?”

“Jadi memang benar kau tidak mau menerima kami di sini.” Ujar fanny sinis. “Akhirnya kau mengungkapkan apa isi hatimu itu. dasar kau, muka dua.”

“Terserah kau mau menilai ku seperti apa, aku tidak peduli.”  Ujarnya pelan.

Fanny yang emosi pun mendorong Viona hingga membuat gadis itu jatuh ke tumpukan kardus bekas di belakangnya. Beberapa ekor kecoa dan beberapa jenis serangga lain pun bermunculan dan berlarian menyelamatkan diri sementara Viona hanya terdiam dengan wajah yang pucat dan keringat dingin membasahi wajahnya saat melihat kecoa yang keluar dari kardus bekas, tepat di wajahnya.

Abdul pun segera menyingkirkan kardus yang menimpa Viona dan membantu gadis itu berdiri. “Kau tidak apa-apa?”

Viona pun berdiri sambil memegangi siku kanannya. “Sebaiknya kalian selesaikan ini semua daripada Ayah tau dan urusannya jadi makin runyam.” Titah Viona sinis lalu mengambil kembali peralatan bersih-bersihnya dan melanjutkan pekerjaanya tadi.

“Apa benar kau tidak apa-apa?” Tanya Abdul khawatir karena melihat Viona yang makin pucat dan gemetaran. ‘Apa dia masih phobia serangga?’ Tanyanya dalam hati.

“Aku… tidak apa-apa.” Jawab Viona dengan nafas memburu. “Sebaiknya kau cepat selesaikan ini semua sebelum ayah pulang.” Sambungnya ketus. Abdul hanya merungut kesal dan kembali dengan pekerjaannya.

Ben, Abdul, Viona dan Fanny pun kembali larut dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada percakapan diantara mereka hingga gudang itu selesai dibersihkan dan mereka berempat pun kembali ke kamar masing-masing dengan langkah gontai.

 

***   ***   ***

 

“Viona mana?” Tanya Abdul yang melihat Fanny yang datang sendirian ke ruang makan.

“Viona ada di kamarnya.” Jawab Fanny ketus. “Aku sudah memanggilnya dari tadi, tapi dia tidak menjawab, entah apa yang dilakukannya.” Lanjutnya sambil menarik kursi makan di hadapan Abdul dan menyantap roti selai yang dihidangkan di hadapannya.

“Tumben Viona masih di kamarnya jam segini, biasanya dia kan paling duluan sarapan pagi.” Celetuk Abdul.

“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” Tanya Fanny risih karena Abdul dan Ben yang duduk di sampingnya menatapnya serius.

“Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini padanya, huh?” Tanya Ben sambil menatap fanny kesal.

“Maksudmu?”

“Akhir-akhir ini kalian berdua seperti orang yang tidak pernah mengenal satu sama lain.” Terang Ben. “Terlebih sejak kita berempat dihukum membersihkan gudang belakang seminggu yang lalu, padahal sebelumnya kalian berdua itu sangat dekat.”

“Lagipula aku sudah lelah mendengar ocehanmu yang selau menyalahkannya dan tidak saling menyapa satu sama lain.” Timpal Abdul. “Sebaiknya kalian berdua berdamai dan saling memaafkan satu sama lain.”

“Rasanya aku tidak pernah berbuat salah padanya.” Fanny tiba-tiba berdiri dari duduknya hingga kursi di belakangnya jatuh kebelakang. “Dia saja yang tidak pernah mau mendengarkan orang lain seolah dia itu selalu benar.”

“Bukannya terbalik?” tanya Abdul sinis.

“Kenapa kau selalu membelanya? Apa kau lupa kalau dia itu selalu saja membentakmu dan tidak pernah mau menerima apapun yang kau berikan padanya?”

“HENTIKAN!!!” Ben yang sedari tadi diam akhirnya emosi. “Kenapa kalian berdua yang bertengkar seperti ini? Kau juga Fanny, apa susahnya minta maaf padanya dan berbaikan seperti dulu, huh?”

“Berhenti membelaku!” Viona turun perlahan dengan berpegangan erat ke handle  tangga. “Semua yang dikatakannya memang benar kan?” Lanjutnya datar dan duduk di kursi sebelah Abdul tanpa menghiraukan Fanny yang mantapnya kesal. ‘Lagipula gara-gara siapa aku harus berurusan dengan serangga menyebalkan itu minggu lalu, dasar payah.’ Umpatnya dalam hati.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Abdul panic saat melihat Viona yang pucat dan berkeringat.

“Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu repot-repot mengurusiku.” Viona dengan tenang menyantap roti selainya dengan tenang seolah tidak ada kejadian apapun.

“Kau!!” Fanny yang berdiri tepat di hadapannya itu berkacak pinggang dan mmbentaknya. “Sebaiknya kau mempercepat acara sarapanmu itu atau kita semua akan terlambat sampai di sekolah.”

“Duluan saja kalau begitu, toh seminggu ini kalian semua tidak pernah pergi atau pulang sekolah bersamaku. Aku ini kan hanya gadis lelet dan pemalas.” Ujarnya enteng dan meletakkan roti yang baru segigit itu ke piringnya kembali.

“Kau ini memang tidak tau terima kasih. Sudah untung hari ini kami masih menunggumu, tapi kau malah berkata seperti itu.” Fanny pun pergi dengan kesal dan uring-uringan sendiri.

“Kalian berdua juga duluan saja, aku belum selesai.” Ujar Viona pelan sambil menatap 2 pemuda yang menatapnya penuh arti. “Pergilah sebelum aku membentak kalian seperti biasanya dan kupastikan kalian telat sampai di sekolah karena ulahku.”

“Maksudmu?” tanya Abdul bingung karena biasanya gadis itu akan langsung pergi tanpa menghiraukan lawan bicaranya.

“Jangan banyak tanya. Sebaiknya kalian pergi sekarang, nanti aku menyusul.” Viona akhirnya membentak keduanya dan melayangkan tasnya hingga 2 pemuda itu segera beranjak menjauhi gadis itu.

Viona kembali menyuap roti itu ke mulutnya namun tiba-tiba dia merasakan mual dan sakit kepala, bahkan lebih parah daripada yang dirasakannya sejak tadi malam setelah memakan cookies bingkisan yang teronggok manis di meja belajarnya kemarin sore. Gadis itu segera berdiri hendak kembali ke kamarnya di lantai 2 namun tenaganya serasa lenyap dan hingga jatuh berguling di tangga dan akhirnya kepalanya membentur sebuah guci setinggi 1 meter tepat di samping tangga. Samar-samar dia melihat beberapa orang berlari ke arahnya sambil berteriak namun Viona tidak mampu mendengar apapun dan akhirnya menutup matanya pelan.

 

***   ***   ***

 

Seorang pemuda berwajah Melayu dengan kulit sawo matang berdiri di sebelah gadis yang tengah terbaring di banker RS dengan selang infuse di pergelangan tangannya dan beberapa bagian tubuhnya yang dibalut perban yang cukup tebal. Pemuda itu seketika gembira saat melihat gadis itu mulai menggerakkan jemarinya dan membuka matanya perlahan.

“Kau ini memang merepotkan.” Ujar pemuda itu dengan senyum terkembang di wajahnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

Gadis itupun mengerjapkan matanya beberapa kali dan tersenyum lemah saat melihat pemuda yang berdiri di sampingnya itu tersenyum ke arahnya. “Maaf merepotkanmu.” Ujarnya pelan dengan suara serak.

“Kali ini aku tidak memaafkanmu sebelum kau mau berjanji satu hal padaku.” Ujar pemuda tinggi dengan tubuh atletis itu sambil memasang wajah pura-pura marahnya.

“Ben, kau ini benar-benar keterlaluan.” Seorang pemuda berwajah indo Arab yang tadinya tertidur di sofa di sudut ruangan bangun dan menghampiri pemuda yang akrab disapa Ben itu dan menjitak kepalanya.

“Kau juga Abdul. Kenapa kau menjitak kepalaku? sakit ini.” Ujar Ben ke Abdul  sambil mengelus kepalanya pelan.

“Apa kau tidak melihat, Viona baru saja sadar dan kau sudah berkata seperti itu padanya.” Ujar Abdul sinis.

“Kau itu selau saja perhatian dan membelanya? Apa jangan-jangan kau…” kalimat Ben terputus karena Abdul segera membekap mulut pemuda itu lalu membawanya sedikit menjauh dari Viona dan melemparnya ke sofa.

Dua pemuda itu akhirnya saling berkejaran dan bercanda dengan gelak tawa mereka membuat gadis yang terbaring itu tersenyum geli. Gadis itupun mencoba bangun dari tempat tidurnya namun seketika seluruh badannya ngilu hingga akhirnya gadis itu urung untuk bangun.

“Kau jangan memaksanakan diri dulu, kau itu belum boleh bergerak seenak jidatmu.” Ujar Ben sambil menahan tawa karena Abdul yang terus menggelitiknya di sofa RS di sudut ruangan.

“Lalu, apa aku harus tidur seharian di tempat ini? Begitu?” Tanya Viona ketus.

“Tanpa kau bilang pun, kau memang sudah tiduran di sana seharian kok.” Ujar Abdul enteng. “Bahkan lebih malah.”

“Maksudmu?”

“Kau itu terbaring di sana sejak 3 hari lalu. Kupikir tadinya kau tidak akan kembali ke dunia ini.” Ujar Abdul seenaknya.

“Dasar bodoh. Ucapanmu barusan bahkan lebih parah daripada ucapanku tadi.” Ucap Ben emosi dan menendang tulang kering Abdul hingga pemuda itu meringis dan segera memegangi kakinya yang malang.

“O ya, kenapa aku bisa terbaring di sini?”

“Sebelumnya aku ingin bertanya dulu, darimana kau dapat kue itu, huh?” tanya Abdul penuh selidik.

“Kue? Maksudmu?”

“Bingkisan cookies itu.” Jawab Abdul pendek lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Viona. “Darimana kau mendapatkannya, Miss Popeye?” Tanyanya pelan, tepat di telinga Viona membuat gadis itu bergidik.

“Darimana kau tau nama itu?”

“Apa kau lupa? Kau dulu pernah meminjamkan laptopmu saat ada tugas makalah biologi saat computer di kamarku hang karena dirasuki virus buatanmu yang sangat merepotkan itu. Apa kau lupa, huh?” Abdul kembali berdiri tegak dengan tangan disilangkan di dadanya.

Viona hanya cengengesan. “Waktu itu aku hanya uji coba dan ternyata berhasil, hehehe.” Ucapnya salah tingkah. “Lalu apa hubungannya?”

“Tidak ada, cuma mungkin kau akan lebih cepat mengaku kalau aku menyebutkan nama itu.” Ujar  Abdul yang kembali berdiri tegak di samping Viona.

“Makanya kalau menerima kado itu harus di bagi-bagi, jangan di habiskan sendiri saja.” Ujar Fanny yang baru saja masuk dengan membawa tentengan di tangan kanan dan kirinya.

“Untung saja aku tidak memberikannya pada kalian, jadi kalian tidak berakhir sepertiku sekarang ini.” Balas Viona membeli diri.

“Memangnya kau dapat kado itu darimana?” Tanya Abdul yang mendekat ke banker Viona.

“Aku melihat bungkusan kado di depan pintu masuk saat kalian semua pergi ke toko buku sore itu. Saat kulihat alamatnya, ternyata ditujukan padaku. Akupun membukanya dan melihat kue kemasan cookies yang tersusun rapi di dalamnya. Tadinya aku mau memakannya bersama kalian semua seelah kalian pulang dari toko buku, tapi kuurungkan karena kau uring-uringan seperti nenek peot saat pulang waktu itu karena kau tidak mendapatkan buku yang kau cari.”

“Beraninya kau menyebutku nenek peot, huh?” Sulut Fanny.

“Ya. Dan kalian berdua harus berterima kasih padanya, kalian tidak jadi celaka karena omelannya yang memekakkan telinga itu. hahaha.”

“Kenapa kami harus melakukannya?” Tanya Ben bingung. “Kau sendiri yang bodoh, mau-maunya menerima bingkisan yang tidak jelas asal-usulnya itu.”

“Maksudmu?”

“Kami sudah menyelidiki alamat pengirim bingkisan itu. Ternyata, alamat itu fiktif. Saat kami menyusurinya, kau tau tidak dimana tempat itu?” Abdul mendekatkan mulutnya ke telinga Viona. “Ternyata itu alamat sebuah pemakaman umum di kota sebelah.”

“Kau jangan  bercanda. Itu tidak lucu sama sekali.” Ucap Viona menutupi kekagetannya.

“Aku tidak pernah bercanda dengan hal seperti ini.” Jawab Abdul serius. “Apa kau punya musuh atau kau pernah menyakiti seseorang sebelum kami sampai di sini?”

“Rasanya tidak ada, soalnya aku tidak punya banyak teman di sini. Aku tidak terlalu tertarik untuk berteman semenjak pindah ke mari setahun lalu.”

“Makanya, jadi orang itu jangan terlalu cuek, kau bahkan tidak tau kalau ada orang yang ingin mencelakaimu.” Saran Fanny. “Lain kali kau jangan menyimpan semuanya sendiri, berbagilah dengan kami.”

“Ya, sebaiknya… Ah tidak, seharusnya kau membuang jauh-jauh sifat cuekmu itu.” Abdul menimpali dengan tampang sok berwibawanya.

“Kalau melihat tampangmu yang seperti itu, aku jadi geli. Kau itu tidak cocok dengan tampang seperti itu, hahaha.” Ben yang berdiri di samping Abdul itu cekikikan pelan membuat Abdul reflek menendang tulang kering pemuda itu.

“Betul, kau tidak cocok sama sekali, hahaha.” Tambah Fanny sambil menunjuk wajah Abdul yang memerah karena malu.

Abdul pun salah tingkah dan mengalungkan kedua lengannya ke Fanny dan Ben yang berdiri di sampingnya membuat mereka mengaduh kesakitan karena Abdul menjitak mereka bersamaan. Viona pun terkikik melihat tingkah 3 sahabat yang sudah berteman dengannya sejak di TK dulu.

“Terima kasih Semuanya.” Ujar viona pelan yang tenggelam bersama teriakan mengaduh dari Fanny dan Ben serta omelan Abdul.

“Kau bilang apa tadi?” Tanya Ben yang susah payah melihat Viona di depannya karena Abdul masih saja memeluk tengkuknya.

“Tidak ada siaran ulang.” Ujar Viona sambl tersenyum simpul. “O ya, apa pelaku pengirim bingkisan itu sudah ditemukan?”

Tiga sahabat Viona itu terdiam dan menghentikan ulah konyol mereka dan menatap Viona serius.

“Kau tidak usah memikirkan hal itu. Yang penting sekarang kau tidak boleh melakukan apapun tanpa sepengetahuan kami.” Ujar Fanny serius. “Dan yang terpenting lagi, kau jangan pernah mengabaikan apapun yang ada di sekitarmu lagi. Kami ini kan sahabatmu, kau paham??”

Viona sejenak terdiam lalu tersenyum dan mengangguk.

“Kami pasti akan menemukan siapa pelakunya, kau tidak usah khawatir. Yang penting sekarang kau sudah kembali tersenyum seperti dulu.” Ujar Abdul bangga.

Empat remaja itu tertawa riang dan menghabiskan hari itu dengan canda tawa yang memenuhi seisi ruangan dan tidak menyadari seseorang yang berdiri di balik pintu kamar sambil mengepalkan tinjunya disertai dengan tatapan dingin dan semyuman licik yang menghiasi wajahnya.

“Keberuntungan tidak datang dua kali, kau ingat itu Viona!!” Ujarnya sinis dan menjauh dari kamar inap Viona dengan berbagai rencana licik yang tersusun di benaknya.

 

~~~the_end~~~

.

.

.

.

Read, Comment, and Like youh, hehe.

Friendship will Survive Us